KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Rabu (30/5) memutuskan kenaikan BI 7 Days Repo sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75%. Kenaikan tingkat suku bunga ini membuat nilai tukar rupiah tertahan di bawah level Rp 14.000 per dollar AS. Meski demikian, mengutip data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot pukul 19.00 WIB, hanya menguat tipis 2 poin ke level Rp 13.993 per dollar AS. Meski mampu menjaga nilai tukar rupiah di bawah level Rp 14.000, namun analis Senior Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar menilai, kebijakan BI tersebut tidak baik untuk perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Nilai tukar yang menguat atau stabil yang dicapai lewat kenaikan suku bunga memang sedikit banyak bisa membantu beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), terutama emiten-emiten yang memiliki struktur utang dalam dollar AS yang tinggi atau emiten yang sangat mendalkan bahan baku impor. Bagi emiten-emiten ini kenaikan suku bunga memang cukup tepat, namun secara keseluruhan tidak bakal membantu perekonomian. Pasalnya, pelemahan nilai tukar rupiah lebih berkorelasi dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit. Jika melihat dari kaca mata pesimistis, tentu bisa dibilang dampak dari kenaikan BI Rate ini tidak akan terlalu signifikan, namun mengingat keadaan saat ini maka tidak ada cara lain selain menaikkan suku bunga untuk menstabilkan nilai rupiah. “Kebijakan ini akan mengorbankan sisi konsumsi masyarakat dan sektor properti tahun ini,” ujar William, Rabu (30/5). Dalam jangka menengah-panjang, William memandang, kenaikan tingkat suku bunga ini justru berdampak buruk, sepanjang masalah utama tidak dibereskan. Permasalahan utama rupiah adalah defisit neraca perdagangan, artinya dari sisi fiskal.
Nah, jika dari sisi fiskal tidak segera dibenahi, maka apapun kebijakan yang diambil dari sisi moneter hanya akan membawa kestabilan jangka pendek terhadap rupiah. Ia berharap pemerintah fokus membenahi sisi fiskal, sebab jika, tidak maka kenaikan tingkat suku bunga justru akan menyengsarakan perekonomian. Sektor yang terhantam tentunya sektor konsumsi, sektor properti dan keuangan. Dari sektor keuangan misalnya, jika tingkat suku bunga naik tentu akan berpengaruh pada suku bunga pinjaman dan pembiayaan. Nah, ini tentunya bakal menurunkan minat masyarakat untuk mengajukan pinjaman atau pembiayaan, baik kredit konsumtif maupun kredit produktif, yang ujung-ujungnya akan membuat perekonomian berjalan lamban. Pemerintah memang tengah fokus pada kestabilan kurs, namun kata William, itu berakibat konsumsi masyarakat diuji tahun ini. PDB sebesar 5,06% yang tidak sesuai ekspektasi, seharusnya menjadi perhatian bahwa jika suku bunga dinaikkan tentu menimbulkan pertanyaan atau kekhawatiran akan konsumsi pada tahun ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini