KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Analis memandang positif kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) pada tahun depan. Dengan pandangan positif tersebut, analis melihat beberapa sektor yang prospektif di tahun 2022. Head of Investment Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana menilai pada tahun depan IHSG akan berkisar pada level 7.500-7.600. Walau begitu, dirinya menegaskan proyeksi tersebut dengan asumsi IHSG tahun ini ditutup di level 6.600. Dengan proyeksi tersebut, tiga sektor utama yang memiliki sektor positif yakni keuangan, FMCG, dan infrastruktur telekomunikasi. Selain ketiga sektor tersebut, dia juga masih menilai positif untuk sektor komoditas seiring harga yang cukup baik.
Untuk keuangan, menurutnya perbankan akan menjadi salah satu emiten yang memiliki prospek baik. "Seiring pemulihan ekonomi tentunya membutuhkan pendanaan," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (28/12).
Baca Juga: Pekan Terakhir Window Dressing, Asing Banyak Borong Saham-Saham Ini, Selasa (28/12) Kemudian untuk FMCG, dengan berjalannya pemulihan ekonomi sehingga ada harapan pemulihan daya beli pula. Di tengah proyeksi saat ini, Wawan menuturkan memang saat ini harga CPO yang tinggi dapat meningkatkan biaya bahan baku tetapi dia melihat kenaikan harga CPO memang biasa terjadi di akhir tahun. "Lagipula dengan kenaikan daya beli tentunya tidak akan terlalu memberikan dampak," sebutnya.
Sektor lainnya datang dari infrastruktur telekomunikasi yang mana sektor tersebut masih dapat bertumbuh di tengah pandemi. Selanjutnya juga ada sektor komoditas, khususnya batubara mengingat tren harga yang cukup baik. Hanya saja, ia menyarankan sektor komoditas batubara menjadi diversifikasi. Senada, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus melihat terkait harga batubara ia menyarankan investor untuk berhati-hati lantaran akan ada saatnya permintaan akan stabil.
Baca Juga: Asing Catat Net Sell Terbesar Pada Saham-Saham Ini Saat IHSG Rebound, Selasa (28/12) "Saat ini memang permintaan sedang hype karena aktivitas ekonomi telah mulai berjalan dan mobilitas dibuka sehingga memberi pengaruh pada harga batubara, tetapi kami melihat batubara tidak akan mengalami kenaikan yang lebih tinggi lagi," sebutnya. Hal itu lantaran saat ini kondisi global yang mana China telah mulai melakukan
lockdown secara parsial. Kemudian, di Amerika Serikat sebanyak 1.100 penerbangan telah dibatalkan dan juga Australia juga telah menunjukkan peningkatan kasus 10.000 per hari. Selain itu, berkaca saat varian omicron masuk harga minyak dan batu bara juga turun. "Sehingga hal ini menjadi perhatian," lanjutnya. Oleh sebab itu, Nico lebih menjagokan
BBCA,
BMRI,
SMGR,
ICBP,
AALI,
EMTK, dan
TBIG. Adapun pada tahun depan ia memproyeksikan IHSG di level 7.384. Wawan melanjutkan, untuk sektor komoditas batu bara dia melihat emiten yang akan diuntungkan lebih pada yang berorientasi ekspor memanfaatkan sentimen krisis energi. Karenanya, untuk sektor itu Infovesta menjagokan
ITMG dan
ADRO. Dari sisi saham, Wawan bilang untuk sektor keuangan dari BBCA dan
BBRI. Kedua emiten tersebut memiliki anak usaha bank digital sehingga selain memanfaatkan perbankan konvensional keduanya juga dapat melebarkan sayapnya ke digital.
Baca Juga: IHSG Menguat 0,35% Pada Selasa (28/12) Diiringi Net Buy Asing Rp 402 Miliar Untuk BBRI juga didorong dari
right issue yang memecahkan rekor sehingga memiliki dana yang besar untuk ekspansi di tahun depan. Untuk FMCG, Wawan menjagokan ICBP yang diprediksi akuisisi Pinehill sudah bisa menghasilkan. Kemudian untuk infrastruktur telekomunikasi menjagokan TOWR dan TBIG. "Mitratel bisa sebetulnya, tetapi sampai sekarang profitabilitas masih kalah dari kedua emiten itu serta baru mendapat dana yang cukup besar dan sepertinya sulit menghabiskannya dalam waktu dekat sehingga butuh waktu yang cukup panjang," jelasnya.
Jangka pendek
Untuk prospek jangka pendek, Wawan melihat ada beberapa sektor yang perlu diwaspadai yaitu sektor properti, konstruksi, dan teknologi. Untuk properti dan konstruksi lebih karena penjualannya belum mencapai target. Lalu, untuk teknologi karena tahun ini sudah naik tinggi dan valuasi mahal. Juga, banyak emiten yang secara fundamental masih merugi.
Baca Juga: IPO GoTo dan Traveloka Bisa Menambah Daya Tarik Reksadana Saham Syariah Dia menegaskan, karena harga saham mencerminkan ekspektasi pendapatan masa depan sehingga jika belum profit dalam jangka pendek sampai menengah wajar harga saham turun. Wawan mencontohkan saham BUKA yang harga sahamnya belum pulih ke harga IPO karena kinerja masih merugi. "Jika masuk sektor teknologi investor perlu memiliki exit terkecil yang jelas jadi investor bisa memiliki patokan kapan
cut loss atau target keuntungan yang jelas sehingga saat target tercapai dapat
profit taking terlebih dahulu," tutupnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli