Analis rekomendasikan wait and see untuk saham emiten pelayaran



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dengan Iran mengerek harga minyak dunia. Naiknya harga minyak ini dipercaya akan berimbas pada kenaikan harga komoditas lain seperti batubara.

Beberapa emiten pelayaran mengaku tidak terdampak langsung terhadap kenaikan harga minyak. Karena, sebagian besar biaya/beban bahan bakar ditanggung oleh penyewa kapal.

Baca Juga: Harga minyak naik, tak semua emiten pelayaran merasakan efek negatifnya


Meski demikian, Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menilai, emiten-emiten pelayaran masih akan tertekan tahun ini. Sebab, emiten pelayaran dinilai memiliki sifat laggard, dalam artian emiten pelayaran perlu menunggu beberapa waktu untuk menikmati keuntungan dari naiknya permintaan suatu komoditas.

“Tentunya kapasitas kapal yang menganggur sebelumnya masih cukup banyak, sehingga perusahaan perkapalan belum dapat meningkatkan nilai kontraknya,” ujar Frederik kepada Kontan.co.id, Rabu (8/1).

Selain itu, ia menilai faktor yang dapat meningkatkan pendapatan emiten pelayaran adalah volume dari kapal terkait. Oleh karena itu, bila harga komoditas naik namun volume pengangkutan tetap sama, maka emiten pelayaran tidak akan mendapat keuntungan secara langsung.

Selain itu, tertekannya emiten pelayaran tahun ini juga akibat kenaikan harga minyak yang hanya sesaat. Sedangkan permintaan batubara dari konsumen terbesar, yakni China, justru akan menurun di tahun 2020.

Untuk itu, Frederik merekomendasikan wait and see untuk saham-saham emiten pelayaran.

Di lain kesempatan, Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, kenaikan harga minyak telah terjadi sejak Oktober 2019, bukan baru-baru terjadi ketika Iran dan Amerika Serikat bersitegang.

Baca Juga: Antisipasi kenaikan harga minyak, begini strategi Mitrabahtera Segara (MBSS)

Namun, dengan adanya konflik ini, Aria menilai harga minyak kemungkinan akan lanjut merangkak naik setidaknya hingga akhir kuartal I-2020.

“Dengan target harga kembali ke harga tertinggi seperti tahun 2018, dengan kisaran US$ 83 per barel– US$ 85 per barel untuk Brent atau US$ 75 per barel untuk West Texas Intermediate (WTI),” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi