Analis: Relaksasi pajak omnibus law akan membantu kinerja emiten



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus menggelontorkan stimulus bagi pelaku usaha lewat Undang-Undang sapu jagat (omnibus law). Salah satunya adalah, pemerintah akan menurunkan pajak badan bagi perusahaan terbuka (go public) sebesar 3%, yakni dari 22% menjadi 19%. Sementara untuk perusahaan yang go public pada 2023, pajak badan akan turun dari 20% menjadi 17%.

Presiden Direktur CSA Institute Aria Santoso menilai, meskipun pengurangan pajak ini hanya sebesar 3%, insentif ini tentu akan membantu keuangan emiten. Aria menyebut, dengan likuiditas yang didapatkan dari pengurangan pajak tadi, anggaran tersebut dapat digunakan untuk berbagai hal seperti dialihkan ke biaya operasional atau membayar beban bunga. Tentunya, hal ini merupakan hal baik bagi perusahaan.

Dus, dalam jangka panjang perlu diperhatikan bagaimana pengelolaan dana dari hasil penghematan pajak ini oleh emiten. “Ketika pengelolaannya baik, maka akan memberikan dampak yang lebih besar,” ujar Aria kepada Kontan.co.id, Minggu (11/10).


Senada, Head of Research Panin Sekuritas Nico Laurens menilai, insentif pajak sebesar 3% ini akan sangat terasa dampaknya bagi emiten terlebih di kala pandemi saat ini. Dia mencontohkan, laba suatu perusahaan setelah dikenakan pajak pada tahun 2019 sebesar Rp  403 triliun.

Baca Juga: Menanti perkembangan demonstrasi, kurs rupiah berpotensi menguat

Jika dikenakan asumsi pajak sebesar 25%, berarti laba sebelum pajak (pretax) perusahaan tersebut sebesar Rp 540 triliun. “Nah itu kalau 3% saja, sudah Rp 16,2 triliun. Jadi, pengurangan 3% menurut saya signifikan,” terang Nico saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (11/10).

Kontan.co.id mencatat, relaksasi pajak yang diberikan pemerintah kepada emiten bukan hanya pengurangan pajak penghasilan badan, tetapi juga berupa pajak penghasilan (PPh) atas dividen. Dalam undang-undang sapu jagad dijelaskan, PPh atas dividen dikecualikan bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan WP Badan dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan kembali di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu.

Kebijakan ini berlaku bagi yang mendapatkan dividen dari bentuk usaha tetap (BUT) dari dalam maupun luar negeri. Adapun, dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30% dari laba setelah pajak. Nico mengamini, beleid reinvestasi ini akan berdampak positif kepada emiten khususnya emiten induk (Grup). Karena dividen tersebut bisa digunakan misalnya untuk ekspansi yang akan mendorong pertumbuhan kinerja.

Baca Juga: Emiten semen diproyeksi akan kecipratan untung RUU Cipta Kerja

Menurut Aria, pembebasan pajak dividen yang diinvestasikan kembali (reinvestasi) di dalam negeri akan memberikan dampak baik bagi perusahaan dan juga perekonomian domestik secara umum. Sebab, emiten mendapatkan dana tambahan yang bisa digunakan secara leluasa untuk pengembangan usaha. Di sisi lain, negara berhasil mempertahankan dana investasi di dalam negeri.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa salah satu tujuan dari aturan pembebasan PPh dividen ini adalah untuk mencegah dividen kabur ke luar negeri.

Aria menilai, dampak aturan perpajakan ini ke pasar saham secara jangka pendek memang hanya sesaat. Namun secara jangka panjang, aturan ini akan menjadi hal yang positif jika emiten melaksanakan pengelolaan dana penghematan pajaknya secara optimal.

Senada, Nico juga menilai aturan relaksasi pajak ini akan berdampak positif bagi pasar saham, baik dalam jangka panjang maupun pendek. Aturan ini juga berpotensi mendorong investasi asing masuk ke tanah air. Hingga akhir tahun, Panin Sekuritas masih mempertahankan proyeksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di level 5.364. 

Baca Juga: Sepekan di zona hijau, IHSG rawan profit taking pada Senin (12/10)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati