Analis: Sebelum masuk, investor perlu dalami risiko crowdfunding



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) siap menyediakan mekanisme Pasar Perdagangan Alternatif (PPA) untuk memenuhi kebutuhan pasar sekunder. Akhir tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru menerbitkan aturan terkait layanan urun dana melalui penawaran saham berbasis teknologi informasi atau equity crowdfunding.

Aturan tersebut dirilis pada 31 Desember 2018 dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) Nomor 37/POJK.04/2018. Harapannya, POJK tersebut dapat memberikan ruang bagi perusahaan perintis atau perusahaan start up untuk memperoleh akses pendanaan di pasar modal. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air, terutama di pasar modal.

Direktur Pengembangan BEI Hasan Fawzi mengatakan saat ini pihaknya tidak memiliki keterlibatan dalam aktivitas equity crowdfunding tersebut. Namun, regulator bisa menyiapkan satu platform untuk pasar alternatif tersebut.


Equity Crowdfunding itu tidak di bursa. (Peran Bursa) Kalau kita tidak ada di situ. Tapi, kalau mekanismenya melalui yang lain, mungkin kita akan siapkan (Pasar Perdagangan Alternatif), tapi itu belum,” kata Hasan, Selasa (8/1).

Untuk menerapkan PPA, BEI akan melihat kemungkinan apakah pihaknya bisa berperan sebagai penyelenggara pasar alternatif. Definisinya untuk memenuhi kebutuhan pasar sekunder di luar bursa, diibaratkan seperti elektrik trading platform.

“Kita bisa saja menyiapkan satu platform untuk pasar alternatif tadi. Kalau dibutuhkan, ada kemungkinan kita buatkan suatu ekosistem sendiri yang mengarah pada PPA, yang notabenenya memperdagangkan mekanisme transaksi di luar bursa, termasuk equity crowdfunding,” jelasnya.

Terkait perlindungan investor terhadap aktivitas equity crowdfunding tersebut, Hasan mengatakan sepenuhnya diawasi oleh OJK. Itu karena, layanan tersebut lebih megacu pada penawaran ke publik.

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan, investor perlu mendalami lebih jauh risiko dan peluang investasi di crowdfunding. Ini lantaran, aktivitas crowdfunding dianggap seperti perusahaan yang membuka usaha sendiri.

“Jadi bisa sukses besar, bisa juga bangkrut,” ujar Rudiyanto kepada Kontan.co.id, Selasa (8/1).

Dia juga mengaku belum terlalu jelas memahami mekanisme aktivitas crowdfunding tersebut. Namun, jika layanan tersebut bersifat penggalangan dana seperti initial public offering (IPO), maka risiko dan return-nya harus sangat jelas.

“Saham yang IPO melalui proses yang benar saja, ada yang harganya turun. Apalagi yang seperti ini,” tandasnya.

Dalam POJK Nomor 37, disebutkan bahwa dibeberapa negara, praktik layanan urun dana atau equity crowdfunding telah dilakukan dan memiliki dasar hukum, sedangkan di Tanah Air belum ada. 

Sehingga dapat menimbulkan risiko baik bagi penyelenggara maupun pengguna, yakni pihak yang membutuhkan dana dalam hal penerbit saham dan pihak yang memberikan dana atau pemodal.

Dalam POJK Nomor 37/POJK.04/2018 tersebut, diatur bahwa penawaran saham umum dilakukan dalam jangka waktu maksimal 12 bulan, dengan total dana yang dihimpun maksimal Rp 10 miliar.

Sedangkan bagi penerbit yang bukan merusakan perusahaan publik, disyaratkan memiliki jumlah pemegang saham penerbit tidak lebih dari 300 pihak dan jumlah modal disetor tidak lebih dari Rp 30 miliar.

Adapun aturan bagi penyelenggara layanan urun dana, wajib memiliki modal disetor dan modal sendiri, masing masing paling sedikit Rp 2,5 miliar saat mengajukan permohonan perizinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi