KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rokok berpotensi naik 10,7% dari sebelumnya sebesar 9,9%. Hal ini seiring dengan kenaikan tarif umum PPN dari semula 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Indonesia Miftahul Khaer mengungkapkan sejumlah emiten rokok termasuk HMSP, GGRM hingga WIIM berisiko terdampak kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Menurutnya hal tersebut membuat harga jual rokok kembali melambung. "Sehingga hal itu akan kembali menekan daya beli masyarakat," kata Miftahul pada Kontan.co.id, Minggu (21/4).
Selain itu menurut Miftahul kebijakan tersebut juga akan kembali berimbas negatif pada kinerja fundamental emiten emiten rokok. Pasalnya, tarif cukai merupakan salah satu beban terbesar bagi perusahaan atau emiten rokok. "Oleh sebab itu, dengan diputuskannya kebijakan untuk meningkatkan tarif cukai rokok, akan meningkatkan beban atau mempersulit perusahaan dalam mencetak laba bersih di tahun ini," ujarnya.
Baca Juga: Tarif PPN Rokok Diperkirakan Naik, Begini Tanggapan Bentoel (RMBA) Di sisi lain Miftahul mengatakan untuk mempertahankan margin emiten-emiten produsen rokok di tier atas kemungkinan besar akan menaikkan harga jualnya. Di mana dengan kenaikan harga jual akan membuat para konsumen akan kembali mengonsumsi rokok rokok alternatif seperti rokok ilegal, maupun berpindah merek. "Sehingga rokok-rokok tier atas akan semakin kehilangan konsumen," ucap dia. Selain itu Mifta juga memperkirakan outlook jangka panjang emiten rokok juga kurang prospektif karena ekspektasinya permintaan rokok dalam jangka panjang akan mengalami penurunan. Hal itu menurutnya sejalan dengan kesadaran masyarakat terkait kesehatan yang semakin tinggi. Begitu juga dengan Senior Investment Information Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta yang menyebutkan kenaikan tarif PPN rokok merupakan salah satu sentimen negatif yang dapat menekan kinerja harga saham emiten rokok. Menurutnya harga saham emiten rokok mengalami tren penurunan. "Tentunya ini juga efek dari penerapan cukai rokok apalagi juga Pajak Penambahan Nilai yang akan dinaikkan jadi 12% dari 11% di tahun mendatang," ujar Nafan.
Baca Juga: Tarif PPN Rokok Berpotensi Naik Jadi 10,7% Tahun Depan, Ini Penjelasannya Meski begitu, Nafan mengatakan kinerja emiten rokok saat ini masih
sustainable terutama PT Gudang Garam Tbk (
GGRM). Menurutnya hal tersebut karena GGRM telah mengembangkan bisnis ke bidan infrastruktur seperti pembangunan bandara juga jalan tol. "Hal itu sebagai upaya untuk meningkatkan
sustainability sekaligus meningkatkan kepercayaan para investor," ucapnya.
Nafan melihat secara tren kinerja pendapatan emiten rokok masih relatif membaik dan relatif stabil. Ia menyebutkan PT Wismilak Inti Makmur Tbk (
WIIM) dan PT HM Sampoerna Tbk (
HMSP) masih menunjukkan pertumbuhan pada kinerja
top line hingga
bottom line. "Saya kira untuk pendapatan ini persaingannya kan dengan vape ya, kalau rokok ini masih klasik dan memang punya pangsa pasarnya sendiri bagi para konsumen rokok," ujarnya. Nafan merekomendasikan
hold pada saham GGRM dengan target harga Rp 20.000 per saham,
hold pada HMSP dengan target harga Rp 845 dan
hold saham WIIM dengan target harga Rp 1.000 per saham. Sedangkan Miftahul merekomendasikan untuk
wait and see terlebih dahulu pada seluruh emiten rokok. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati