Analis: Start up bidik IPO, sahamnya lebih berisiko



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah start up mulai melirik skema pendanaan melalui initial public offering (IPO). Pada tahun lalu,  sejumlah start up menggelar IPO, seperti PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS) dan PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS).

Selain itu, beberapa perusahaan start up juga mengungkapkan keinginannya untuk melantai, misalnya start up yang sudah masuk ke level unicorn seperti Go-Jek. Tahun ini, akan ada beberapa start up yang berencana IPO, termasuk start up binaan dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

Kepala Divisi Pengembangan Investor BEI, Irmawati Amran mengatakan, ada satu perusahaan start up yang siap melakukan IPO di tahun ini. Ia mengatakan bahwa saat ini aset perusahaan yang akan melakukan IPO tersebut sudah sesuai dengan standar yang diminta oleh bursa.


Irma bilang, perusahaan yang akan go public tersebut merupakan perusahaan yang berada di sektor financial technology (fintech). Saat ini, perusahaan tersebut sedang mempersiapkan diri untuk IPO. "Yang paling penting adalah GCG-nya (Good Coorporate Governance), contohnya dia harus punya direktur independen," paparnya, Kamis (11/1).

Irma juga mengungkapkan bahwa perusahaan yang akan melakukan IPO tersebut sudah bertemu dengan beberapa underwriter untuk kemudian diberikan arahan dalam beberapa persepektif finansial seperti jumlah modal yang harus disetor.

Alpino Kianjaya Direktur BEI membenarkan bahwa saat ini bursa tengah mempersiapkan satu perusahaan untuk IPO. Ia bilang, perusahaan tersebut sebenarnya sudah cukup siap dan mau dibimbing. BEI akan memfasilitasi perusahaan tersebut dengan investor.

Terkait start up yang lain, Alpino mengatakan, pihak bursa sudah melakukan beberapa pendekatan. "Tugas kami untuk menjelaskan manfaat IPO untuk menjadi lebih transparan dan lebih disukai investor," kata Alpino, Kamis (11/1).

Vice President Research and Analysis Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere mengatakan, berinvestasi pada perusahaan-perusahaan start up memang memiliki potensi yang cukup besar. Namun demikian, risiko berinvestasi pada perusahaan-perusahaan tersebut juga cukup besar.

"Start up lebih berisiko dibandingkan dengan saham yang sudah lama masuk di bursa, tapi kita bisa lihat sektoralnya saja," kata Nico, Kamis (11/1).

Lanjut Nico, start up yang bergerak pada teknologi finansial (fintech) masih memiliki perkembangan yang lebih besar, bahkan dengan adanya teknologi blockchain yang mulai merangsek di dunia finansial.

Menurut Nico, saat ini saham-saham start up memanfaatkan momentum dengan semakin tertariknya investor pada sektor-sektor yang berhubungan dengan teknologi. Namun demikian, dia menyarankan untuk berhati-hati memilih saham start up karena terkadang fundamental dari perusahaan-perusahaan start up belum begitu kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini