KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) segera bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Kelak, bila RPP KER tersebut disetujui DPR, maka peta jalan transisi energi ini akan mengubah target bauran sebelumnya sebesar 23% menjadi 17%-19% pada 2025. Adapun salah satu poin penting dalam perubahan tersebut adalah pemerintah yang sangat berkomitmen mendorong penggunaan biomassa kayu. Hanya saja, kebutuhan lahan untuk produksi kayu yang masif akan menimbulkan potensi deforestasi dan konflik lahan. Untuk memenuhi kebutuhan co-firing 10% di seluruh PLTU Indonesia, kebutuhan lahan dapat mencapai 2,3 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta. Bahkan dalam implementasi hingga saat ini, biomassa telah menimbulkan deforestasi seluas 240.622 hektare.
Baca Juga: Beleid Kebijakan Energi Nasional (KEN) Menanti Persetujuan DPR Sejatinya, biomassa diklaim netral karbon sehingga mencegah perubahan iklim. Namun penelitian Trend Asia membantah klaim ini. Pemanfaatan biomassa di PLTU co-firing berpotensi mengakibatkan deforestasi hingga 1 juta hektare. Deforestasi tersebut akan menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26,48 juta ton emisi karbon. Amalya Reza, Pengkampaye Trend Asia mengungkapkan, ada beberapa masalah yang juga telah diakui dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RPP KEN. Misalnya saja, penggunaan energi berbasis lahan akan menyumbang emisi dari sektor Forest and Other Land Use (FOLU) dalam bentuk deforestasi, perubahan penggunaan lahan, dan perubahan dalam pengelolaan lahan. Di sisi lain, harga biomassa yang tinggi di pasar internasional membuat produsen lebih tertarik mengekspor pelet kayu. Saat ini, PLN hanya mampu menawarkan harga Rp 450.000-Rp 600.000 per ton pelet kayu, sedangkan Korea Selatan menawarkan harga beli hingga U$S 110 atau Rp 1,7 juta per ton pelet kayu.
Baca Juga: Menilik Persiapan Emiten Batubara Jelang Pengesahan RPP KEN "Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan kontradiksi. Dalam RPP KEN, pemerintah terlihat sangat berkomitmen mendorong penggunaan biomassa kayu, meskipun penggunaannya punya banyak masalah dan akan menimbulkan biaya yang besar," katanya kepada KONTAN, Selasa (23/7/2024). Skema Pendanaan Yang terang, masifnya penggunaan biomassa kayu ini lantaran ada celah pendanaan dari berbagai skema, termasuk hibah luar negeri, skema pendanaan transisi energi, dan pendanaan lain bisa mengalir dari BUMN dengan pola greenwashing. Diketahui, pendanaan biomassa salah satunya bersumber dari investasi pembiayaan teknologi bioenergi dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipastikan tersedia hingga 2050. Dimulai dari US$ 2.000 di tahun 2020, menurun menjadi US$ 1.820 di 2030, hingga US$ 1.600 USD di tahun 2050. Kemudian, negara Denmark dalam dokumen Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) JETP telah mengalokasikan US$ 60 juta untuk pinjaman konsesi dan hibah sebesar US$ 0,9 juta untuk proyek biomassa di Lombok.
Baca Juga: Kebijakan TKDN Dinilai Hambat Investasi PLTS di Tanah Air Skema pendanaan transisi energi juga dapat muncul dari hibah. Tahun 2019, dana hibah Rp 154 miliar dialirkan dari Millenium Challenge Corporation untuk membiayai pembangunan PLTBm di tiga desa di Mentawai. PLTBm hanya beroperasi selama kurang dari setahun, sebelum mangkrak. Padahal sebelumnya masyarakat di desa-desa tersebut sudah menggunakan modul tenaga surya untuk mendapatkan listrik Sementara pendanaan lainnya bisa mengalir dari BUMN, yaitu kasus pendanaan dari dua BUMN ke PLTBm dan konsesi Hutan Tanaman Energi (HTE) PT Selaras Inti Semesta (SIS) dari Medco Group. PT SMI memberikan US$ 4,5 juta untuk pembangunan PLTBm.
Selanjutnya, BadanPengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mengalirkan US$ 56 juta yang berasal dariNorwegia sebagai penghargaan karena berhasil mengurangi nilai deforestasi–untuk pembiayaan konsesi HTE PT SIS yang mendeforestasi hingga 2,3 ribu hektare hutan alam di wilayah komunitas masyarakat adat Marind Anim. Amalya menilai, berbagai pendanaan ini berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan penting, ketimbang digunakan untuk melawan perubahan iklim dan melakukan transisi energi berkeadilan. Alhasil, biomassa dari kayu menjadi sumber energi bermasalah yang rawan deforestasi dan konflik sosial. Proyek co-firing biomassa juga kerap dijadikan skema greenwashing PLTU untuk menunda pemensiunan. "Biaya juga biaya yang juga tidak diperhitungkan ketika PLTU tua seperti Paiton, Suralaya, dan Ombilin terus beroperasi meskipun sudah memasuki masa pensiun di atas 30 tahun," ungkap Amalya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli