Ancaman Impor Baja China Bisa Tekan Produksi Dalam Negeri Hingga 2026



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri baja nasional diproyeksikan masih menghadapi tekanan berat pada 2026. Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) menilai pemulihan konsumsi domestik belum akan terjadi secara signifikan, sementara arus impor baja berharga murah masih mendominasi pasar dalam negeri.

Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara mengatakan, hingga 2026 tekanan impor diperkirakan tetap tinggi dan dapat mencapai sekitar 55% dari kebutuhan nasional. Kondisi ini membuat utilisasi pabrik baja domestik berpotensi bertahan di kisaran 50%.

“Memasuki 2026, industri baja nasional masih berada dalam kondisi yang menantang. Konsumsi domestik belum pulih sepenuhnya, sektor konstruksi masih lemah, sementara dominasi produk impor khususnya dari Tiongkok yang terus menekan utilisasi pabrik dalam negeri,” ujar Harry kepada Kontan, Senin (29/12/2025).


Baca Juga: Kemenperin Optimistis Industri Baja Bisa Jadi Tulang Punggung Ekonomi 2026

Menurut IISIA, tanpa intervensi kebijakan yang kuat dan konsisten, ruang pemulihan industri baja akan sangat terbatas. Risiko stagnasi bahkan penurunan utilisasi, margin, dan output produksi masih membayangi pelaku industri.

Sepanjang 2025, tekanan terhadap industri baja nasional semakin berat dibandingkan tahun sebelumnya. Hingga triwulan III 2025, volume impor baja tercatat mencapai 4,83 juta ton, naik 15,6% dibandingkan periode yang sama 2024 sebesar 4,18 juta ton. Lonjakan impor tersebut terutama berasal dari Tiongkok, didorong oleh perbedaan harga yang sangat lebar akibat kebijakan subsidi di negara asal.

Harry menjelaskan, derasnya impor berdampak langsung pada kinerja industri dalam negeri. Utilisasi pabrik baja nasional saat ini hanya berada di kisaran 52%, jauh di bawah tingkat ideal industri sekitar 80%.

“Penurunan harga Hot Rolled Coil (HRC) asal Tiongkok menjadi indikator paling jelas. Dari US$ 858 per ton pada 2022, kini turun menjadi sekitar US$ 549 per ton hingga triwulan III 2025. Pangsa impor HRC Tiongkok pun melonjak dari 8% menjadi sekitar 32%,” katanya.

Tekanan berkepanjangan tersebut turut meningkatkan risiko terhadap keberlanjutan industri dan penyerapan tenaga kerja. IISIA mencatat penutupan pabrik PT Ispat Indo pada Agustus 2025 sebagai sinyal nyata melemahnya industri, di tengah utilisasi yang rendah dan tekanan biaya yang tinggi.

Meski prospek 2026 masih berat, IISIA melihat adanya potensi katalis pertumbuhan dari sektor-sektor tertentu. Industri otomotif, alat berat, dan perkapalan dinilai dapat menjadi sumber diversifikasi pasar bagi produsen baja nasional.

“Peluang dari sektor-sektor tersebut tetap ada, namun hanya bisa dimanfaatkan apabila produsen baja domestik mampu menyediakan produk dengan spesifikasi, kualitas, dan volume yang sesuai dengan kebutuhan industri hilir,” ujar Harry.

Ia menegaskan, prospek industri baja dalam 12–18 bulan ke depan akan sangat ditentukan oleh efektivitas kebijakan pemerintah, terutama dalam mengendalikan impor, memperkuat instrumen pengamanan perdagangan, serta mendorong sinergi hulu–hilir.

Baca Juga: Garuda Yamato Steel Target 1 Juta Ton Produksi Baja 2027

IISIA menilai langkah paling mendesak adalah pengendalian impor yang selaras dengan ketersediaan produksi dalam negeri. Impor perlu dibuka secara selektif dan terukur, hanya untuk produk yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. Untuk produk yang sudah tersedia secara lokal, pemerintah didorong memperkuat hambatan masuk melalui trade remedies, penegakan SNI wajib, dan implementasi kebijakan P3DN secara konsisten.

Selain itu, penerapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi industri besi dan baja dinilai krusial untuk menekan biaya energi dan meningkatkan daya saing. Dalam jangka menengah, IISIA juga mendorong penyusunan roadmap kebutuhan material nasional tiga hingga lima tahun ke depan guna mendukung substitusi impor yang terencana.

Di sisi lain, industri baja nasional juga dihadapkan pada tantangan baru berupa penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa yang akan berlaku penuh pada 2026. Meski porsi ekspor baja Indonesia ke Eropa masih relatif kecil, trennya meningkat signifikan dari 5,6% pada 2024 menjadi sekitar 13,1% hingga triwulan III 2025.

“CBAM bukan hanya isu ekspor ke Eropa, tetapi sinyal percepatan transformasi menuju industri baja rendah karbon. Ini akan memengaruhi daya saing kita dalam rantai pasok global,” kata Harry.

Untuk merespons hal tersebut, IISIA bersama pelaku industri mendorong peningkatan kapasitas pengukuran dan pelaporan emisi, penyusunan peta jalan dekarbonisasi yang realistis, serta advokasi kebijakan agar transisi menuju baja hijau didukung insentif fiskal, pembiayaan terjangkau, dan ketersediaan energi bersih yang kompetitif.

“Dengan kombinasi pengamanan pasar domestik, penguatan sinergi hulu–hilir, dan transformasi menuju industri baja hijau, kami berharap industri baja nasional dapat bertahan, meningkatkan utilisasi, dan memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang,” tutupnya.

Selanjutnya: Begini Kronologi Kebakaran yang Terjadi di Mal Sarinah

Menarik Dibaca: Samsung A25 Mengusung Triple Camera dan RAM 8GB yang Memukau, Cek Informasinya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News