Ancaman PHK di industri tekstil



JAKARTA. Kenaikan upah buruh tahun depan bisa berbuntut panjang. Bila industri padat karya tidak bisa menjaga marjin usaha, potensi pemutusan kerja bisa terjadi tahun depan.

Sebagai salah satu sektor yang padat karya, industri tekstil kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G Ismy, pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu opsi bila kenaikkan upah buruh terjadi di daerah Jabodetabek. "Ini terpaksa menjadi salah satu opsi selain merubah orientasi bisnis dari produsen menjadi importir," katanya kemarin.

Menurutnya beberapa perusahaan tekstil dan produk tekstil multinasional menghitung pengeluaran biaya (cashflow) perusahaan terhadap kenaikan upah buruh. Hasilnya mereka harus mengurangi tenaga kerja hingga 100.000 pekerja supaya tetap bisa menjaga marjin. "Itu baru dari perusahaan asing," ujarnya.


Padahal industri tekstil merupakan salah satu industri yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Tahun lalu, jumlah pekerja di industri tekstil domestik mencapai 1,4 juta pekerja.

Lantaran membutuhkan banyak tenaga kerja, kenaikkan upah buruh menjadi isu sensitif bagi keberlangsungan  industri tekstil nasional. Di sektor hulu, upah buruh memberi kontribusi sekitar 13,3% dari total biaya produksi. Imbasnya, bisa menaikkan biaya bahan baku yang dibutuhkan oleh industri tekstil hilir seperti garmen.

Kondisi ini masih ditambah dengan beban upah buruh yang lebih besar di sektor garmen. Karena menggunakan lebih banyak tenaga kerja, kontribusi beban biaya upah buruh terhadap total biaya produksi garmen bisa mencapai 27,1%.

Belum lagi kenaikkan biaya energi tahun depan, sehingga secara keseluruhan, harga tekstil dan produk tekstil di pasaran bisa meningkat hingga 15,3%. Namun pelaku industri berusaha tidak menaikkan harga setinggi itu. Pasalnya bisa kalah bersaing dengan produk impor. Saat ini, tekstil dan produk tekstil nasional baru mengisi sekitar 46% dari pasar tekstil domestik. "Jadi yang paling rasional adalah mengurangi tenaga kerja," paparnya,

Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Binsar Marpaung mengatakan kenaikan upah buruh berpotensi menurunkan daya saing industri alas kaki nasional. Pasalnya, saat ini para pembeli (buyers) dari Eropa sedang mempertimbangkan mengalihkan pesanan antara Indonesia dan Vietnam setelah mengurangi pesanan ke produsen sepatu China.

Menteri Perindustrian MS Hidayat berjanji bakal membicarakan masalah upah buruh ini dalam rapat kabinet dan pengusaha supaya bisa menemukan pemecahan terbaik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon