Ancaman PHK Industri Manufaktur Tetap Tinggi Meski Investasi Terus Mengalir



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri manufaktur Tanah Air tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Meski aliran investasi di industri manufaktur tergolong deras, tren pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor ini juga tergolong besar.

Merujuk laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi manufaktur tumbuh 24,68% secara tahunan atau year on year (yoy) menjadi Rp 337 triliun pada semester I-2024. Kontribusi industri manufaktur mencapai 40,6% dari total realisasi investasi nasional.

Namun demikian, gelombang PHK masih terus terjadi di industri manufaktur, terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang notabene merupakan sektor padat karya.


Baca Juga: Industri Manufaktur Masih Hadapi Tantangan, Ancaman PHK Masih Membayangi

Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mengemukakan, terdapat 14.500 pekerja tekstil yang terkena PHK sejak awal tahun hingga Juli 2024.

Jumlah ini berpotensi bertambah menjadi 15.000 pekerja mengingat ada rencana penutupan salah satu pabrik tekstil di Bandung, Jawa Barat pada Agustus mendatang.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyatakan, potensi PHK di industri manufaktur masih ada, terutama di sektor padat karya berorientasi ekspor seperti TPT. Sektor ini telah mengalami tekanan luar biasa baik dari sisi pasar maupun inflasi biaya usaha.

"Subsektor manufaktur lainnya memiliki risiko PHK yang tidak terlalu besar, namun berpotensi terjadi pembekuan perekrutan karyawan (hiring freeze) yang berkepanjangan," ungkap dia, Selasa (30/7).

Baca Juga: Asosiasi Sebut Tren PHK Tidak Akan Melanda Sektor IKNB

Secara umum, Apindo memperkirakan kondisi industri manufaktur akan lebih menantang sampai akhir tahun nanti. Selain dipicu oleh kenaikan biaya operasi usaha sebagai efek samping koreksi kurs rupiah, daya beli masyarakat juga belum stabil sehingga permintaan pasar menurun.

Tak hanya itu, sebagian pelaku usaha juga masih wait and see untuk ekspansi bisnis karena transisi pemerintahan.

Editor: Noverius Laoli