KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menaikkan bea impor barang China, disinyalir sanggup membawa harga minyak dunia semakin jeblok. Bahkan, harga minyak berpeluang untuk menyentuh level harga US$ 59 barel. Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak jenis west texas intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2019, tercatat turun dari US$ 61,94 per barel pada (3/5), menjadi US$ 60,67 per barel pada (6/5) atau turun 2,05%. Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengungkapkan, jika dibandingkan dengan level harga minyak tertinggi di 23 April 2019 yakni US$ 66.12 per barel, artinya saat ini harga minyak sudah kehilangan sekitar US$ 5 per barel dari level harga tertingginya.
"Ini karena, kenyataan berbanding terbalik dengan perkiraan. Sebelumnya pasar optimistis, negosiasi perang dagang AS dan China akan berbuah positif, faktanya saat ini tidak ada kesepakatan, sehingga wajar minyak mentah dunia melorot tajam," kata Ibrahim kepada Kontan, Senin (6/5). Dia bercerita, masalah perang dagang sangat krusial dampaknya pada ekonomi global, sehingga ketika perang dagang usai, harapannya ekonomi dunia akan membaik. Apalagi, saat ini global tengah dihadapkan pada dua perang dagang yakni AS dengan China dan AS dengan Uni Eropa. Suksesnya harga minyak menyentuh level tertinggi beberapa waktu lalu, diungkapkan Ibrahim karena sentimen embargo atau sanksi terhadap Iran. Di mana, per Mei 2019 negara-negara importir minyak dilarang lagi mengambil pasokan dari Iran, sehingga harga minyak sempat melonjak tinggi. Namun, lantaran isu perang dagang terkendala pembahasan hak intelektual perusahaan yang diminta China kepada AS, akibatnya negosiasi belum menunjukkan sinyal penyelesaian. Karena hal itu juga, pihak AS menjadi geram dan akhirnya mengancam akan menerapkan kenaikan bea impor barang China. Mengutip
Reuters, pengumuman Trump datang menjelang putaran pembicaraan antara AS dengan pejabat China di Washington yang dijadwalkan pekan ini. Langkah Trump bertentangan dengan keputusannya pada Februari lalu untuk tidak menaikkan tarif impor dari 10% menjadi 25% terhadap barang-barang China senilai US$ 200 miliar berkat kemajuan dalam perundingan dagang. Dalam cuitannya, Trump menyatakan kenaikan tarif ini akan berlaku pada Jumat pekan ini. Trump juga mengatakan, ia akan menargetkan pengenaan tarif 25% bagi barang-barang dari China senilai US$ 325 miliar segera. Dia menyarankan langkah-langkah itu tidak mengarah pada kenaikan harga bagi konsumen AS. Di sisi lain, Ibrahim mengungkapkan perbaikan data tenaga kerja AS dan angka pengangguran yang turun, membuat dollar AS kembali perkasa. Hal ini, tentunya berimbas terhadap penurunan harga minyak.
Secara teknikal, tren harga minyak juga cenderung
bearish dan cukup memungkinkan untuk menyentuh level
support US$ 59.40 per barel. Sedangkan untuk level
resistance besok (7/5) berkisar US$ 62 per barel. Ibrahim menjelaskan,
bollinger bands maupun
average 10% di atas
bollinger bawah, ini mengindikasikan harga minyak masih akan jatuh. Apalagi,
Stochastic 70% negatif, MACD dan RSI 60% negatif. "Hampir semua indikator mengindikasikan negatif, sehingga kemungkinan besar harga minyak dunia masih akan jatuh. Untuk sepekan, diperkirakan akan berada di kisaran US$ 57.90- US$ 63.70 per barel," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi