KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, memberikan penilaian bahwa menumpuknya beban pencapaian swasembada gula pada tahun 2028 kepada PTPN III seakan menafikan peran perusahaan swasta. Menurut Khudori, peran swasta dalam industri gula semakin dominan, meskipun diakui atau tidak. Dia mengatakan bahwa sejak tahun 2019, luas panen produksi tebu dan gula, produktivitas tebu, dan kapasitas giling pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami penurunan dan kalah dari perusahaan swasta. "Bahkan, di industri gula rafinasi yang saat ini terdiri dari 11 pabrik gula, semuanya swasta. Menafikan peran swasta sama saja dengan menolak mengakui realitas saat ini," kata Khudori kepada Kontan.co.id pada Senin (19/6).
Baca Juga: APTRI Minta Petani Dilibatkan Penuh dalam Pencapaian Swasembada Gula Khudori menjelaskan bahwa menumpuk tugas pencapaian swasembada gula, baik untuk konsumsi maupun industri, kepada PTPN III telah secara otomatis menafikan peran perusahaan swasta. "Terlebih lagi, dalam penugasan tersebut, PTPN secara terang-terangan diberikan fasilitas impor gula. Hal ini dicurigai sebagai modus legalisasi impor gula," kata Khudori. Namun, Khudori menyebut bahwa dalam Peraturan Presiden No. 40 tahun 2023 mengenai Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel), juga disebutkan bahwa keterlibatan perusahaan swasta dapat dilibatkan. Namun, Khudori mempertanyakan mengenai bagaimana peran dan fasilitasi oleh Kementerian/Lembaga yang sama sekali tidak disinggung. Menurut Khudori, terdapat inkonsistensi dalam langkah-langkah percepatan pencapaian swasembada gula dalam Perpres tersebut. Di satu sisi, percepatan tersebut dilakukan dengan meningkatkan produktivitas tebu hingga 93 ton/hektar melalui perbaikan praktik agrikultur mulai dari pembibitan, pemeliharaan, hingga tebang muat angkut, juga melalui perluasan lahan tebu hingga 700.000 hektar, peningkatan efisiensi, penggunaan kapasitas pabrik gula hingga rendemen 11,2%, dan peningkatan kesejahteraan petani tebu. Namun, Khudori mengatakan bahwa di sisi lain, beban yang ditumpukkan pada PTPN III lebih ringan.
Baca Juga: Genjot Swasembada Gula dan Bioetanol, Pemerintah Akan Tambah 700.000 Ha Kebun Baru "Pertanyaannya, apakah peraturan presiden tentang swasembada gula diperlukan? Bisa ya, bisa juga tidak. Saat ini terdapat banyak kebijakan di industri gula yang saling konflik dan saling menolak. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang pragmatis, inkonsisten, dan berubah-ubah. Koordinasi antar Kementerian/Lembaga tidak berjalan. Setiap Kementerian/Lembaga berjalan sendiri," ucapnya. Adanya egosektoral membuat industri pergulaan seperti autopilot. Dimana petani sebagai garda terdepan dalam industri pergulaan tidak ada yang mengurus nasibnya secara serius.
"Riil luas panen tebu saat ini hanya 440-an ribu hektare dengan rendemen 7,7% dan produktivitas tebu 71 ton/hektare. Dari mana tambahan lahan hingga jadi 700.000 hektare, bagaimana mendongkrak rendeman dan produktivitas tebu? Tanpa rincian jelas peta jalan ke depan, swasembada hanya utopia," tegasnya. Ia kembali menegaskan, upaya swasembada gula terdapat potensi masalah muncul ketika tugas pencapaian swasembada konsumsi dan gula industri itu hanya ditumpukkan pada satu BUMN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli