Seiring maraknya usaha kuliner, peluang fotografer makanan kian terbuka lebar. Selain pembukaan resto baru, permintaan foto makanan juga datang dari gerai lama yang merancang ulang menunya. Andreas Eko Widiarto pun menangkap peluang ini. Alhasil, objek jepretannya pun beralih, dari interior dan bangunan menjadi aneka makanan dan minuman.Memotret makanan dan minuman menjadi profesi baru Andreas Eko Widiarto sejak dua tahun lalu. Baginya, menghasilkan foto makanan dan minuman yang memikat mata adalah tantangan.Setelah lulus dari Interstudi, pada 1994, Andreas bekerja di King Foto yang berlokasi di kawasan Roxy, Jakarta Barat. Ia memulai kariEs sebagai lighting man atawa penata cahaya. Namun, Andreas yang punya panggilan akrab Didit tak lama menjalani profesi sebagai penata cahaya. Jam kerja yang cukup lama, mulai pukul 9.00 WIB hingga 21.00 WIB, menjadi penyebabnya. Ia pun hanya bertahan sebulan di King Foto. "Saya hanya mencari pengalaman saja waktu itu," ujarnya.Lantas, Didit bergabung dengan Jonas Foto pada 1995. Tapi, tahun berikutnya, ia pindah ke Freeze Frame. "Saya banyak belajar secara otodidak. Di kampus hanya sedikit belajar fotografi, selebihnya saya baca majalah Foto Media," ungkapnya.Akhirnya, pada 2007, Didit memutuskan melakoni profesi sebagai fotografer lepas. Pesanan yang datang kepadanya, mulai dari memfoto interior, fesyen, hingga kegiatan pergudangan di Cakung, Jakarta Timur. Dia hanya mengandalkan blog di internet dan jaringan pertemanan untuk menggapai para kliennya. Tawaran mengambil foto makanan mampir ke Didit pada 2009. "Rekanan saya pemilik usaha advertising minta foto displai makanan untuk restoran Jepang di Jalan Sudirman, Jakarta" tutur pria 37 tahun ini. Berawal dari sinilah, Didit mulai kebanjiran pesanan untuk menjepret makanan dan minuman. Ia bilang, untuk mengabadikan makanan dan minuman, seorang fotografer harus pandai memainkan cahaya. Ada cahaya utama yang berfungsi menyinari sekeliling makanan termasuk alat-alat makan. Ada pula cahaya tambahan yang berguna menyorot makanan sebagai objek foto.Didik memberi satu tips lagi, "Saya selalu meminta agar makanan yang bakal difoto dibikin setengah matang, biar terlihat semakin berwarna ketika ditempa pencahayaan," kata Didik. Selain pencahayaan, artistik objek foto pun patut diperhitungkan. Maka, terkadang Didit bekerja sama dengan food stylist untuk menghasilkan objek foto yang menarik mata.Food stylist membantu menyusun komposisi foto dan menambahkan aksesori atau garnish. "Tapi, itu tergantung permintaan pemesan,” ujarnya. Selesai mengambil gambar, bukan berarti pekerjaan Didit rampung. Ia harus menyunting foto-foto itu melalui program Adobe Photoshop. "Kadang saya memakai program itu untuk membuat warna makanan semakin terang dan tajam," katanya. Penyuntingan ini menjadi aktivitas wajib fotografer untuk mempercantik hasil jepretannya. "Jadi, fotografer zaman sekarang main di kamar terang, tidak seperti dulu di kamar gelap," tuturnya sambil tawa. Hitung punya hitung, Didit minimal menerima dua order pemotretan setiap minggu. Pesanan itu berasal dari restoran yang baru buka dan restoran yang menyajikan menu baru. Ia memasang tarif Rp 250.000 untuk tiap menu makanan atau minuman yang difotonya. Mungkin, saat ini, nama Didit memang belum setenar fotografer top seperti Darwis Triadi. Namun, ia bertekad terus menekuni profesinya ini. Sebab, ia melihat, usaha foto makanan dan minuman merupakan bisnis yang menjanjikan. Karena, jumlah permintaan jasa ini begitu besar. Apalagi, banyak restoran yang baru buka dan menambah menu. "Mereka bersaing dengan restoran lain. Nah, ini yang menjadi peluang besar," paparnya. Agar kemampuan menghasilkan foto makanan yang menggiurkan mata semakin meningkat, Didit menyarankan seorang fotografer harus sering melihat-lihat makanan. Ia juga harus ahli mengutak-atik foto di program khusus untuk editing.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Andreas beralih objek foto karena peluang yang makin besar
Seiring maraknya usaha kuliner, peluang fotografer makanan kian terbuka lebar. Selain pembukaan resto baru, permintaan foto makanan juga datang dari gerai lama yang merancang ulang menunya. Andreas Eko Widiarto pun menangkap peluang ini. Alhasil, objek jepretannya pun beralih, dari interior dan bangunan menjadi aneka makanan dan minuman.Memotret makanan dan minuman menjadi profesi baru Andreas Eko Widiarto sejak dua tahun lalu. Baginya, menghasilkan foto makanan dan minuman yang memikat mata adalah tantangan.Setelah lulus dari Interstudi, pada 1994, Andreas bekerja di King Foto yang berlokasi di kawasan Roxy, Jakarta Barat. Ia memulai kariEs sebagai lighting man atawa penata cahaya. Namun, Andreas yang punya panggilan akrab Didit tak lama menjalani profesi sebagai penata cahaya. Jam kerja yang cukup lama, mulai pukul 9.00 WIB hingga 21.00 WIB, menjadi penyebabnya. Ia pun hanya bertahan sebulan di King Foto. "Saya hanya mencari pengalaman saja waktu itu," ujarnya.Lantas, Didit bergabung dengan Jonas Foto pada 1995. Tapi, tahun berikutnya, ia pindah ke Freeze Frame. "Saya banyak belajar secara otodidak. Di kampus hanya sedikit belajar fotografi, selebihnya saya baca majalah Foto Media," ungkapnya.Akhirnya, pada 2007, Didit memutuskan melakoni profesi sebagai fotografer lepas. Pesanan yang datang kepadanya, mulai dari memfoto interior, fesyen, hingga kegiatan pergudangan di Cakung, Jakarta Timur. Dia hanya mengandalkan blog di internet dan jaringan pertemanan untuk menggapai para kliennya. Tawaran mengambil foto makanan mampir ke Didit pada 2009. "Rekanan saya pemilik usaha advertising minta foto displai makanan untuk restoran Jepang di Jalan Sudirman, Jakarta" tutur pria 37 tahun ini. Berawal dari sinilah, Didit mulai kebanjiran pesanan untuk menjepret makanan dan minuman. Ia bilang, untuk mengabadikan makanan dan minuman, seorang fotografer harus pandai memainkan cahaya. Ada cahaya utama yang berfungsi menyinari sekeliling makanan termasuk alat-alat makan. Ada pula cahaya tambahan yang berguna menyorot makanan sebagai objek foto.Didik memberi satu tips lagi, "Saya selalu meminta agar makanan yang bakal difoto dibikin setengah matang, biar terlihat semakin berwarna ketika ditempa pencahayaan," kata Didik. Selain pencahayaan, artistik objek foto pun patut diperhitungkan. Maka, terkadang Didit bekerja sama dengan food stylist untuk menghasilkan objek foto yang menarik mata.Food stylist membantu menyusun komposisi foto dan menambahkan aksesori atau garnish. "Tapi, itu tergantung permintaan pemesan,” ujarnya. Selesai mengambil gambar, bukan berarti pekerjaan Didit rampung. Ia harus menyunting foto-foto itu melalui program Adobe Photoshop. "Kadang saya memakai program itu untuk membuat warna makanan semakin terang dan tajam," katanya. Penyuntingan ini menjadi aktivitas wajib fotografer untuk mempercantik hasil jepretannya. "Jadi, fotografer zaman sekarang main di kamar terang, tidak seperti dulu di kamar gelap," tuturnya sambil tawa. Hitung punya hitung, Didit minimal menerima dua order pemotretan setiap minggu. Pesanan itu berasal dari restoran yang baru buka dan restoran yang menyajikan menu baru. Ia memasang tarif Rp 250.000 untuk tiap menu makanan atau minuman yang difotonya. Mungkin, saat ini, nama Didit memang belum setenar fotografer top seperti Darwis Triadi. Namun, ia bertekad terus menekuni profesinya ini. Sebab, ia melihat, usaha foto makanan dan minuman merupakan bisnis yang menjanjikan. Karena, jumlah permintaan jasa ini begitu besar. Apalagi, banyak restoran yang baru buka dan menambah menu. "Mereka bersaing dengan restoran lain. Nah, ini yang menjadi peluang besar," paparnya. Agar kemampuan menghasilkan foto makanan yang menggiurkan mata semakin meningkat, Didit menyarankan seorang fotografer harus sering melihat-lihat makanan. Ia juga harus ahli mengutak-atik foto di program khusus untuk editing.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News