Andriyani tak berhenti berkarya bersama para lanjut usia



Meski hanya tamat sekolah menengah atas (SMA), Andriyani bertekad ingin memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Setelah belajar cara mengolah kertas bekas, ia mengajak 15 wanita lanjut usia (lansia) membuat kerajinan tangan. Dia bersama para lansia itu bisa mendulang pendapatan hingga Rp 10 juta per bulan.Kepedulian kepada masyarakat dan lingkungan tidak harus diungkapkan dengan cara memberikan materi secara langsung. Ada banyak cara lain. Salah satunya, dengan mengajak orang-orang di sekitar kita untuk hidup dan berkarya secara mandiri.Inilah yang dilakukan Andriyani. Dengan niat membantu orang lain, wanita kelahiran Jakarta, 25 April 1969 itu kemudian mendirikan kelompok usaha kerajinan yang diberi nama Padepokan Mawas Diri. Padepokan Mawas Diri berdiri tahun 2000 silam atas bantuan dari salah seorang teman Yani, panggilan Andriyani, yang waktu itu menjadi aktivis di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asal Meksiko. LSM itu fokus dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang kebersihan lingkungan. Saat bekerja bersama LSM itu, Yani mendapat pelatihan untuk mengolah tanaman eceng gondok dan kertas daur ulang menjadi produk-produk kerajinan. Usai pelatihan, Yani mencoba inovasi sendiri dan mencari sumber kertas lain.Waktu itu, Yani melirik kertas bekas kantong semen yang terbuang percuma di satu toko bangunan dekat rumahnya. "Saya yakin, mengolah kertas semen bisa bermanfaat bagi orang lain," kata Yani yang hanya menamatkan sekolah menengah atas (SMA).Setelah bereksperimen berulang kali, Yani akhirnya bisa mengolah kertas bekas kantong semen itu menjadi aneka produk kerajinan. Setelah itu, Yani lalu memberdayakan kaum ibu yang kelak menjadi anggota Padepokan Mawas Diri untuk membuat kerajinan. Padepokan yang berada di daerah Muara Baru, Jakarta Utara itu memiliki anggota 15 orang, yang terdiri dari wanita lanjut usia (lansia). Yani mengajak para lansia itu membuat kerajinan tangan hasil olahan kertas bekas kantong semen.Kebaikan Yani tidak hanya membantu kalangan lansia saja, ia sekaligus menekan dampak lingkungan dengan mengurangi sampah kertas semen. "Bersama mereka yang uzur itu, kami bisa mandiri dan bisa mengurangi sampah," tegas dia.Padepokan Mawas Diri sekarang sudah memproduksi aneka tas, dompet, dan tikar yang berbahan baku utama kantong semen bekas. Yani menjual kerajinan tangan karya para lansia itu dengan harga mulai dari harga Rp 10.000 hingga Rp 200.000 per item.Para pembeli kerajinan itu tidak hanya datang dari Jakarta saja, tapi juga asal kota-kota lain. Bahkan, sebagian produk ada yang diekspor ke Malaysia. Dalam sebulan, Padepokan Mawas Diri bisa memproduksi 100 item produk kerajinan. Omzetnya antara Rp 8 juta hingga Rp 10 juta.Produk yang paling laris adalah dompet. Selain unik, harga dompet juga tidak terlalu mahal. Dompet itu digemari kalangan anak muda dengan harga jual Rp 50.000 per item.Untuk pemasaran, Yani mengikuti berbagai pameran. Selain itu, ia membuka jaringan ke Malaysia lewat salah seorang temannya.Setelah dikenal, aneka kerajinan buatan Padepokan Mawas Diri akhirnya punya penggemar. Saat musim liburan tiba, permintaan naik 20%. Begitu juga saat lebaran. Sampai-sampai Yani bersama anggota Padepokan Mawas Diri kesulitan dalam memenuhi permintaan.Karena pemintaan yang terus naik, Yani mulai kesulitan mencari bahan baku kantong semen bekas. Sebab, pasokan kantong semen bekas dari toko milik tetangganya sudah tidak mencukupi lagi. Agar produksi lancar, Yani memutuskan membeli kertas semen dari pemulung.Kertas semen itu digunting dan kemudian dipintal menjadi tali sepanjang 30 meter. Setelah menjadi tali, proses selanjutnya adalah pemberian warna dengan cara direndam dengan bahan alami, campuran air daun jambu, kulit kayu mahoni, serta daun mahoni. Yani mengolah kertas semen dengan bahan alami agar tekstur kertas bisa lembut. "Sampai sekarang saya masih memakai pewarna alami ," terangnya.Setelah kertas semen berubah menjadi tali yang berwarna, barulah para perempuan lansia anggota Padepokan Mawas Diri merakitnya menjadi aneka tas, dompet, dan tikar. Pertama kali produksi, Yani sempat putus asa mengolah kertas itu. Sebab saat itu, Yani merasakan minimnya perhatian dari pemerintah setempat. Padahal, dia yakin dengan bantuan pemerintah usahanya bisa lebih maju.Berbekal semangat anggota padepokan, Yani melanjutkan produksi dan pemasaran. Hingga kemudian, kerajinan tangan para lansia itu bisa terkenal sampai bisa diekspor ke Malaysia.Namun, kesuksesan itu mendatangkan peristiwa yang tidak mengenakan bagi Yani. "Kalau ada pameran, kami diminta mengaku mitra binaan dari pemerintah kota," katanya yang mengaku tidak mendapat pembinaan dari pemerintah daerah.Selain aktif di padepokan, Yani juga giat di LSM Kaliana Mitra yang fokus pada pemberdayaan wanita daerah Prumpung, Jakarta Timur. Meskipun aktif di banyak kegiatan, ia tetap menjadi seorang ibu di rumahnya. Yani memiliki tiga anak. Yang pertama, sudah bekerja sebagai polisi. Dua anaknya lagi masih duduk di bangku kuliah.Yani berharap, anak-anaknya kelak mempunyai perencanaan dalam melakukan pekerjaannya. Karena, "Semuanya tidak akan tercapai tanpa ada perencanaan yang baik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi