KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gejolak dan pelemahan rupiah kembali mewarnai gejolak IHSG. Apakah faktor-faktor eksternal yang mengguncang bursa akan mereda? Apa yang sebaiknya dilakukan investor? Berikut ini analisis IHSG dari Ernawan Salimsyah Director Indo Premier Investment Management kepada KONTAN.
Apa yang Anda lihat sedang terjadi di pasar belakangan ini? Ada dua faktor yang menyebabkan apa yang kita lihat di market hari-hari. Faktor eksternal yang mungkin di luar dari kontrol kita dan faktor internal. Nah mungkin saya mulai dengan faktor eksternal. Faktor eksternal di awal tahun itu mungkin orang akan bicara apa yang akan dilakukan oleh Donald Trump. Mungkin akan radikal, karena orang juga bicaranya setelah dia terpilih akan bangun tembok antara Amerika Meksiko gitu. Dan dengan Kanada juga ada hal yang akan dia lakukan. Tapi ternyata kan itu tidak dalam beberapa bulan terjadi. Sifatnya retorika gitu.
Demikian juga dengan trade war dengan China mau ditarifin. Tapi kan lebih realisasinya kita, belum jelas. Namun memang pembicaraan memang saling ancam. Itu yang berdampak terhadap pergerakan mata uang beberapa negara, karena diduga ekonominya akan menjadi buruk. Lalu yang 2-3 bulan terakhir ini kan isunya Turki, karena juga tarif dan juga uniknya adalah masalah politik. Karena kan Erdogan itu, orang yang extrovert juga bicaranya sama seperti Trump. Akibatnya menimbulkan spekulasi banyak orang dengan kejadian selanjutnya. Tapi kenyataannya juga di Turki itu secara fundamental inflasinya tinggi. Itu yang orang katakan bisa menular ke tempat lain. Dan yang terakhir adalah Argentina. Jadi yang eksternal itu akan terus berlanjut. Kalau kita teringat cerita tentang kejadian di 2012, dulu ada istilah namanya PIIGS. Nah PIGS itu juga dikatakan demikian. Jadi kelompok negara Portugal, Ireland, Italy, Greece, dan S nya Spain. Itu ada masalah di negaranya terus akan contagious dikatakan begitu. Tapi seiring berjalannya waktu 2012, 2013, gitu ya memang market agak sedikit volatile para periode itu namun kemudian membaik. Nah saya melihatnya pun seperti itu, bahkan mungkin lebih baik kondisinya, karena ini tersebar ya. Ada yang di Asia Tengah perbatasan dengan Eropa, ada yang di Amerika Latin. Tapi bukan di South East Asia ya walau pun kita terkena dampaknya. Nah kalau dulu tuh 2012, lebih di Blok Uni Eropa. Blok Uni Eropa itu kalau tertular Jerman bisa kena, Inggris juga bisa masuk. Sementara ini kan blok ekonomi terbesar setelah Amerika, bisa ke mana-mana ceritanya. Tapi kejadian sekarang Ini kan lebih scattered. Jadi kita melihatnya ini justru adalah kesempatan buat investor untuk menambah posisi mereka secara gradual.
Apakah kondisi sekarang sudah akan membaik atau gejolak ini akan terus berlanjut sampai akhir tahun? Kita enggak tahu, karena faktor eksternal ini di luar kontrol. Jadi saya garis bawahi, kalau sifatnya eksternal kecil kemungkinannya berimbas ke Indonesia. Sebaiknya investor mengambil peluang itu untuk beli. Kecuali kejadiannya seperti 2008 misalnya. Pada tahun 2008 itu kan 2/3 ekonomi dunia collapse karena subprime mortgage. Ya waktu itu market kita turun dalam, tapi sebenarnya ekonomi kita masih tumbuh 4% di 2008. Seharusnya kita lebih hati-hati karena marketnya terkoreksi cukup dalam 2/3 ekonomi dunia kan. Kenyataannya dengan krisis sebesar itu pun, krisis lah di 2008 ya. Tapi 1 tahun kemudian marketnya rebound, naik 90%-100%. Jadi loss yang 6 bulan lalu kejadian, tiba-tiba hilang bahkan naik lebih tinggi lagi. Unfortunately kalau saya perhatikan di 2008 investor lokal panik dan ikut keluar, pas lagi race to the bottom itu. Nah kemudian pas naik lagi ke atas, mereka juga terlambat masuk. Foreign dulu yang masuk, pas sudah mahal investor lokal baru beli.
Tapi kondisi sekarang kan disertai dengan pelemahan Rupiah yang mencapai angka psikologis? Jadi mengenai rupiah kan sebetulnya faktor eksternal ya, karena menguatnya mata uang dolar karena
capital flight to quality dari negara-negara yang bermasalah ini. Dolar menguat hampir terhadap semua mata uang, termasuk Indonesia. Nah harus diingat dibanding 2012, maupun 20018, apalagi 1998, kondisi makro ekonomi Indonesia jauh lebih kuat. Di 2012 cadangan devisa kita masih sedikit, masih puluhan miliar ya mendekati 100, mungkin entah 70 atau 80 saya angkanya lupa. Tapi sekarang kita sudah 118 miliar cadangan devisa, tahun 2012 kita belum
investment grade seluruhnya, sekarang 3 lembaga rating, 2
investment grade, 1 sudah 1
notch di atas
investment grade. Inflasi, pada 2012 juga, inflasi kita relatively lebih tinggi, mungkin dari data terakhir ya keluar cuma 3,22. Jadi dengan kondisi seperti ini kita lebih solid kondisi ekonomi kita dibanding dengan 2012, apalagi 2008, nah apalagi 1998. Saya mau kasih gambaran ekstrem, kalau orang khawatir dengan 1998. Pada tahun 1998 itu dolar dari Rp 3.000, bergerak ke 18 ribu. Kira-kira berapa 600 % depresiasi. Sekarang kita dari Rp 13 ribu ke Rp 14 ribu, jadi kalau mau dipetakan yang satu itu soaring up, yang sekarang itu sebenarnya landai. Tapi orang bilangnya gini, wah sudah 15 ribu nih, nanti seperti dulu lagi nih. Kalau ada orang yang bilang sebetulnya ke 18 ribu pun gak apa-apa, karena basenya memang high dari 13 ribu ke 18 ribu. Walau pun secara angka memang wah ini sudah new record, kan orang akan bilang begitu. Tapi secara persentase ini yang penting harus kita lihat. Persentasenya sebetulnya masih flat. Masih landai dibanding 1998. Jadi daya beli masyarakat juga tidak terpuruk dan inflasi rendah, masih 3,22%.
Pelemahan rupiah ini kan akan mempengaruhi kinerja emiten juga? Memang ada perusahaan yang punya eksposure utang atau raw material dalam US dolar, mereka akan menderita dengan pelemahan rupiah. Tapi kan ada juga perusahaan yang sifatnya eksportir. Itu mereka akan diuntungkan, atau ada juga perusahaan modal rupiah,
cost of fund rupiah revenue juga rupiah, itu akan gak ada masalah. Sedikit mau address masalah kenapa kita selalu terjadi pelemahan rupiah. Bukan salah presiden sekarang, kalau kita lihat semuanya suka disalahin ke pemerintah, bukan salah presiden yang dulu juga. Tapi struktur ekonomi kita yang membuat kita secara natural mata uang kita akan melemah terhadap US dolar. Karena inflasi kita secara natural selalu lebih tinggi dari inflasi di US. Itu dari hitungan dengan
interest parity dan
purchasing power parity, kalau kita hitung mata uang dua negara dibandingkan dengan bunga dan inflasi di dua negara tersebut, kita akan temukan yang inflasinya lebih tinggi ya mata uangnya akan melemah dari yang inflasi lebih rendah. Nah itu secara natural berlaku seperti itu. Jadi kalau kita mau mata uang kita menguat terhadap US dolar misalnya kembali lagi ke 3.000 lagi nih, kalau kita mau eranya seperti itu lagi, dari sekarang yang harus kita lakukan adalah upaya supaya bisa mendatangkan devisa dolar. Caranya apa, ekspor, manufaktur. Kalau kita sekarang ini kan 50% konsumsi domestik ya ekonomi kita itu konfigurasinya. Konsumsi domestik kita itu banyak barangnya itu imported goods. Diolah sedikit di sini untuk menjadi barang jadi. Tapi komponen luarnya masih tinggi, entah industri farmasi, bahkan
staple food. Yang paling sederhana tahu tempe kedelainya masih impor. Jadi ketika kita masih seperti itu, manufaktur kita orientasinya masih impor. Seharusnya kan kita bisa memproduksi barang sendiri dikonsumsi oleh masyarakat kita sisanya kita ekspor. Nah kalau itu yang terjadi, inflasi kita bisa par dengan US bahkan mungkin lebih rendah karena infrastruktur juga dibangun kan oleh pemerintah. Lambat laun kita akan menguat terhadap US dolar. Tapi menurut saya dalam kondisi sekarang yang mana pemerintah berusaha sih meningkatkan manufaktur dan mengubah pola konsumsi masyarakat ini, jangan terlalu import oriented seperti yang terjadi sekarang, saya pikir ke depannya akan baik. Tapi yang terpenting sekarang stabil saja lah dulu, sebelum kita menguat. Tapi jangan harapkan menguat drastis, karena menguat drastis pun buruk. Tiba-tiba jadi 5.000 per US dolar misalnya. Perusahaan kita kan ada yang
dollar earning juga, ya nanti separuh dari mereka akan bermasalah juga. Yang terbaik adalah stabil dan menguat bertahap.
Jadi apa yang bisa dilakukan investor sekarang ini? Menurut saya sih karena faktor eksternal itu di luar kontrol siapa pun, isu bisa apa saja muncul. Mungkin isu berikutnya lagi Afrika Selatan atau Brasil mungkin. Ini akan terus mengguncangkan pasar, tapi kita harus lihat internally isu kita cuma satu, inflasi kita yang lebih tinggi dari US dolar. Itu kalau kita bisa atasi dengan infrastruktur yang dibangun, kita lebih menggunakan produksi dalam negeri, impor kita menurun isu itu bisa di address. Nah fundamental kita pun baik, jauh lebih baik dari 2012, 2008, apalagi 1998. Apa yang bisa dilakukan investor? Sebaiknya investor memudahkan investment prosesnya. Dia percaya gak, dalam 10 tahun ke depan pertama Indonesia enggak bubar, yang kedua akan tumbuh paling tidak 5%, yang ketiga akan k inflasi akan lebih rendah, suku bunga akan stabil. Rupiah juga bukan jadi 35 ribu 45 ribu gitu ya per satu dolarnya. Kalau percaya seperti itu, ya sudah setiap ada pelemahan atau dia bisa membeli setiap bulan
gradually buy dengan
dolar cost averaging berapa dia mau investasi, beli saja tiap bulan. Hari-hari di mana terjadi koreksi dalam mindsetnya itu seperti midnight sale di mal-mal. Kan mal penuh tuh, kalau hari biasa ada juga tapi akan lebih penuh kalau
midnight sale. Di kita pun begitu, ketika koreksi itu sumbernya dari tempat-tempat yang jauh sifatnya sentimen, kita tahu negeri kita kuat harusnya kita dobelin belinya, jadi misalnya tiap bulan kita rencanakan belinya berapa gitu ya, begitu ada koreksi, seperti kemarin tiba-tiba marketnya turun 5%, kita dobelin posisi kita di situ. Akhirnya apa, akhirnya kita selalu membeli di harga yang rata-rata secara keseluruhan dan ketika misalnya
capital market-nya sesuai dengan fundamental dari negara ini dia akan lari.
Apa bisa sesederhana itu? Saya ambil contoh gini ya, ini infrastruktur belum dibangun belum ada. Cuma konsumsi domestik saja. Tahun 2000 IHSG itu cuma 400 tahun 2018 kita sekarang sempat 6.600, sekarang kita memang lagi 5.700, tapi katakan 6.000. Itu kan berarti berapa dari 400 ke 6.000, paling gak lebih dari 13 kali, 15 kali lipat gitu. Jadi gak usah pilih-pilih saham, seseorang yang mau investasi bisa masuk di produk ETF (reksadana yang diperdagangkan di bursa) yang imbal hasilnya mengikuti indeks. Tiap bulan berapa dia beli ya, selama sekian belas tahun kali 12 berarti sekian ratus bulan, at the end of 2017 mungkin gain keuntungannya dia sudah luar biasa.
Tapi kalau seseorang yang coba pilih-pilih saham, oh kayaknya ini kayaknya itu, ketika dia lengah dia enggak monitor. Begitu ketika kondisinya berbalik mungkin dia akan kapok masuk capital market dan itu banyak kasusnya seperti itu karena kalau kita lihat volatility terutama di 2006, 2007 2008 itu tinggi banget. Ada saham yang naik ya sampai Rp 8.000 dari Rp 2.000-3.000 an. Setelah 2008 menuju 2009 dia turun tinggal Rp 25. Kalau orang masuk di saham itu bubar sudah, dia akan kapok dengan
capital market. Tapi kalau orang beli eksposure yang menggambarkan IHSG atau paling tidak LQ45 gitu, dia beli tiap bulan, dia akan sangat senang. Dan hidupnya akan indah karena apa, dia tidak perlu terus monitor setiap saat. Yang perlu dia bikin call, bahwa dia percaya Indonesia akan tumbuh selama 10 tahun-20 tahun ke depan. Jadi buat investor dengan horison cukup panjang, gak usah pusing dia beli aja gradual. Jadi really no worries dan ketika ada pelemahan dan pelemahan itu bukan disebabkan oleh masalah internal Indonesia
time to double your position.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.