Anggaran Ditjen EBTKE Cuma Rp 657 Miliar di 2025, Kebijakan EBT Setengah Hati?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku terkejut melihat nilai aggaran Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 sebesar RP 657 miliar.

Bahlil yang baru dilantik menjadi Menteri ESDM pada 19 Agustus lalu berpendapat bahwa anggaran tersebut terlalu kecil untuk mendorong rencana pemerintah Indonesia mencapai transisi energi dan mewujudkan Net Zero Emission (NZE) pad 2060. Terlebih, pada tahun depan pemerintah menargetkan bauran EBT sebesar 23%.

"Anggaran Ibu [Dirjen EBTKE] kecil banget ya. Padahal kita rencana mau memakai transisi energi. Bagaimana mungkin anggaran kecil ini bisa kita bicara tentang transisi energi," kata Bahlil dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Selasa (27/8).


Baca Juga: Pensiun Dini PLTU, Kementerian ESDM Siapkan Roadmap

Dirjen EBTKE Eniya Listiana Dewi mengatakan, Ditjen EBTKE mengawal regulasi untuk mendorong EBTKE. "Dana yang ada sebagian besar untuk infrastruktur EBTKE di daerah-daaerah yang belum terlistriki," ungkapnya kepada Kontan, Kamis (29/8).

Lebih lanjut, anggaran yang direncanakan untuk Ditjen EBTKE akan disalurkan untuk pembangunan penerangan jalan umum tenaga surya (PJU-TS) sebanyak 10 ribu unit dengan anggaran Rp 184 miliar.

Selain untuk PJU-TS, anggaran pembangunan pembangkit listrik minihidro sebanyak satu unit dengan anggaran Rp 44,53 miliar dan pembangunan tiga unit pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH) dengan anggaran Rp 64,50 miliar.

Adapun, anggaran itu juga akan digunakan untuk membangun tiga unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) senilai Rp 45,30 miliar. Anggaran untuk perencanaan, pengawasan, dan monitoring evaluasi EBTKE sebanyak enam kegiatan sebesar Rp 47,59 miliar.

Kendati demikian, pagu Anggaran Ditjen EBTKE pada 2025 diusulkan sebesar Rp 555,98 miliar. Anggaran tersebut naik 24% dibandingkan 2024 sebesar Rp 446,75 miliar. Jika dibandingkan dengan anggaran Ditjen EBTKE dalam RAPBN 2025 yang mencapai Rp 657 miliar, usulan dari Ditjen EBTKE justru lebih kecil. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan biaya untuk pengembangan energi terbarukan dalam rangka transisi energi memang membutuhkan investasi yang besar. Menurut Fabby, APBN semestinya difokuskan untuk memperkuat enabling environment atau faktor-faktor yang bisa menarik investasi baik dari BUMN maupun swasta.

"Anggaran itu bisa dipakai untuk penyempurnaan kebijakan dan regulasi, memberikan jaminan untuk proyek-proyek EBT, memberikan insentif fiskal, membangun infrastruktur dasar dan pengembangan proyek EBT," kata Fabby saat dihubungi Kontan, Kamis (29/8).

Jadi, disampaikan Fabby, anggaran itu bisa dipakai agar memberikan katalis positif untuk menarik investasi-investasi di sektor energi terbarukan.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengkritisi bahwa anggaran Ditjen EBTKE idealnya lebih dari Rp 5-6 triliun melebihi anggaran Ditjen Minerba Rp 735,9 miliar dan Ditjen Migas.

"Paling tidak sama dengan pagu Ditjen Migas lah untuk Ditjen EBTKE ini karena ke depan pekerjaan soal pengembangan EBT sangat mendesak. Mulai dari pengembangan EBT berbasis komunitas di seluruh wilayah Indonesia pastinya butuh biaya untuk membantu infrastrukturnya, teknologinya sampai pelatihan teknisi," kata Bhima kepada Kontan, Rabu (29/8).

Menurut Bhima, jika anggaran Ditjen EBTKE terlalu kecil menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius melakukan transisi energi. Anggaran tambahan bisa dipangkas dari sektor yang sunset seperti dari anggaran Ditjen Migas yang lifting minyaknya terus turun.

"Sekarang lifting minyak kan terus turun bahkan cuma dapat 580 ribu barrel per hari. Sektor yang sedang turun jangan dikasih anggaran terlalu banyak, kecuali soal pengawasan. Sementara sektor EBT butuh komitmen anggaran lebih besar," ungkap Bhima.

Bhima khawatir anggaran Ditjen EBTKE yang terlalu kecil ini membuat investor ragu masuk ke sektor EBT di Tanah Air,. Mereka akan kalkulasi ulang soal komitmen pemerintah Indonesia.

"Ibaratnya investor disuruh masuk ke EBT, tapi pemerintah sendiri tidak punya keberpihakan dari sisi APBN, repot juga," tandasnya.

Gandeng Swasta Capai EBT

Sementara itu, Ketua Indonesian Center for Renewable Energy Studies (ICRES) Surya Darma mengungkapan untuk mencapai target Net Zero Emision Indonesia tahun 2060 atau lebih cepat, pemerintah telah menyusun peta jalan untuk melakukan transformasi penggunaan energi dari sumber energi fosil ke energi terbarukan.

Peta jalan ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk membangun pembangkit dari energi terbarukan, menyiapkan SDM yang tepat dan mengatasi dampak dari pelaksanaan transformasi sumber daya energi, dan lain-lain.

Lebih lanjut, peta jalan ini tentu saja mencakup pembiayaan, teknologi transfer, kesiapan kandungan lokal, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penyiapan SDM.

"Keperluan biaya ini sebagaiamana juga pernah disampaikan Kementerian ESDM beberapa waktu lalu, bahwa untuk mencapai NZE, akan perlu biaya tidak kurang dari US$ 1 triliun sampai tahun 2060. Karena itu, kebutuhan biaya ini pasti tidak akan mampu disediakan oleh Pemerintah saja. Diperlukan peran pihak swasta yang sangat besar untuk mendukung peningkatan peran EBT," ungkapnya kepada Kontan, Rabu (28/8).

Surya menuturkan, dalam revisi KEN yang sedang dibahas oleh Pemerintah dan DPR, diusulkan bahwa kontribusi EBT mencapai hampir 70% pada tahun 2060. Program ini akan dimulai pada tahun 2025.

Karena itu, lanjut Surya, penyiapan anggaran tahun 2025 untuk EBT yang hanya kurang dari Rp 1 triliun, tentu saja akan berpengaruh pada pencapaian pelaksanaan transisi energi ke depan

"Kalaupun Pemerintah tetap mempertahankan besarnya anggaran untuk EBT yang kecil, maka diperlukan peran swasta yang besar untuk memenuhi target yang tetap," tutur Surya.

Menurut Surya, di sinilah muncul tantangan yang besar karena daya tarik investasi pada subsektor energi terbarukan sampai saat ini masih sangat rendah. Jika pemerintah ingin terlihat serius menangani transisi energi, maka pemerintah perlu memperlihatkan leadership yang kuat dalam menarik investasi atau menaikkan besarnya anggaran sektor EBT untuk memenuhi target NZE tersebut. 

Baca Juga: Pembangkit Listrik Tua Milik PLN Akan Distop

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Sulistiowati