Anggaran sejuta rumah tak bisa ditambah dari APBN



JAKARTA. Anggaran program sejuta rumah hanya bisa digunakan sampai akhir Juli 2015. Dari Rp 118,5 triliun total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), untuk sektor perumahan adalah Rp 5,1 triliun.

"Rp 5,1 triliun ini dengan konsep 75% dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), 25% dari bank pelaksana. Dana Rp 5,1 triliun ini bisa memfasilitassi sekitar 60.000-62.000 unit rumah," ujar Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus di kantornya, Jakarta, Rabu (8/7).

Ia melanjutkan, setelah anggaran ini disahkan, pemerintah menetapkan kebijakan baru yaitu penurunan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR FLPP). Kebijakan ini adalah dari 7,25%  menjadi 5%.


Penurunan ini membawa konsekuensi porsi pendanaan yang sebelumnya ditetapkan. Porsi pendanaan FLPP naik dari 75% jadi 95%. Kemudian, porsi bank pelaksana turun dari 25% menjadi 5%. "Konsekuensinya jumlah unit rumah yang dibangun juga berubah menjadi 58.000 unit," kata Maurin.

Selain itu, pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dilantik 20 Oktober 2014. Saat itu, APBN sudah ditetapkan. Adanya pemerintahan baru dibutuhkan penambahan anggaran melalui APBN-P.

Saat penyusunan APBN-P, anggaran untuk KPR FLPP tidak dimasukkan karena dianggap cukup. Namun, kemudian lahirlah program sejuta rumah. Ketika program dikenalkan, tutur Maurin, pemerintah mempertimbangkan tambahan APBN untuk KPR FLPP.

"Awalnya kita berpendapat, dimungkinkan penambahan FLPP. Dalam perjalanan dengan Menkeu setelah didiskusikan lebih dalam, disimpulkan tidak mungkin menambah anggaran FLPP karena penambahan itu melalui APBN-P," jelas Maurin.

Di sisi lain, kata dia, untuk menambah anggaran FLPP harus ada APBN-P kedua. Padahal APBN dua kali berubah, baru terjadi saat krisis ekonomi 1998.

Saat itu, usulan APBN-P pertama tidak terlalu bagus. Pasar pun tidak mempercayainya. Akhirnya, lanjut Maurin, APBN-P kedua dilakukan. Meski demikian, kondisi itu tidak terlihat dalam waktu dekat, maka tidak dimungkinkan ada APBN-P kedua. (Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan