Anggaran sosial kerek prospek emiten rokok



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggaran belanja pemerintah (APBN) pada tahun depan disebut-sebut sebagai anggaran populis. Ini tergambar dari alokasi subsidi dan bantuan sosial yang meningkat. Hal tersebut dapat menjadi katalis positif bagi emiten produsen rokok.

Pemerintah mengalokasikan anggaran sosial dan subsidi sebesar Rp 283,7 triliun tahun depan, naik 3,65% dibandingkan APBN Perubahan 2017. Jatah subsidi dianggarkan Rp 145,5 triliun.

Kemudian ada anggaran Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar, Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), bantuan pangan, Bidik Misi dan Dana Desa. Pemerintah juga tetap mengalokasikan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM), listrik, pupuk, subsidi bunga untuk kredit usaha rakyat (KUR) dan perumahan, serta pelayanan publik.


Analis NH Korindo Sekuritas Joni Wintarja menilai, subsidi pemerintah di tahun depan akan membuat masyarakat penerimanya memiliki sisa pendapatan yang lebih besar. Hal ini diyakini dapat menjadi stimulus konsumsi masyarakat terhadap rokok.

Namun, bukan berarti hal itu bisa mengubah masyarakat yang bukan perokok menjadi perokok. "Masyarakat penerima bantuan sosial, biasanya sulit menjangkau merek mahal. Dengan sisa income yang lebih besar, mereka bisa menjangkau rokok yang lebih bagus. Ini positif untuk emiten besar seperti HMSP dan GGRM," jelas Joni, Jumat (22/12) lalu.

Namun dia sulit memprediksi seberapa besar pengaruh peningkatan anggaran sosial ini kepada pendapatan emiten rokok.

Emiten besar

Analis Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto dalam risetnya, Kamis (21/12) pekan lalu, juga melihat ruang tumbuh bagi PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk (GGRM) pada tahun depan. Selain kebijakan populis yang dapat mengerek daya beli masyarakat, Natalia juga melihat adanya pengaruh peraturan cukai rokok di 2018.

Pada Oktober 2017, pemerintah memutuskan menaikkan cukai rokok sebesar 10,04% dan berlaku mulai 1 Januari 2018. Pemerintah juga menurunkan harga jual minimum untuk pengecer akhir menjadi 85% (dari sebelumnya 90%). Natalia menilai aturan itu akan menciptakan lapangan bermain yang lebih seimbang di industri rokok.

"Hal ini akan mengurangi persaingan bisnis rokok yang lebih murah dan menguntungkan pelaku rokok utama, termasuk HMSP dan GGRM," tulis Natalia dalam risetnya. Penurunan harga jual minimum juga akan membuat rokok murah lebih sulit ditawarkan kepada konsumen.

Hingga Jumat (22/12), HMSP dan GGRM masih masuk top ten emiten berkapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI). HMSP menduduki peringkat pertama dengan kapitalisasi Rp 541 triliun, sementara GGRM di posisi sembilan dengan kapitalisasi Rp 156 triliun.

Pada 2018, Joni memprediksi prospek emiten rokok masih bagus. Ia menjagokan GGRM. "Market share rokok SKM (sigaret kretek mesin) terus meningkat, GGRM bisa menikmatinya karena 90% penjualannya dari SKM," ujar dia, yang merekomendasikan buy GGRM dengan target Rp 97.825 per saham.

Natalia optimistis dengan HMSP dan GGRM. Dia berharap dua emiten ini membukukan pertumbuhan volume sebesar 1%–2% pada 2018. Dikombinasikan kenaikan harga jual, Natalia memprediksi sektor rokok mempertahankan margin operasi 15,8%. Adapun pertumbuhan pendapatan diprediksi sekitar 10,1%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie