Anggaran subsidi turun berpotensi naikkan inflasi



JAKARTA. Anggaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 berpotensi turun. Akibatnya, inflasi berpeluang meningkat sehingga dapat mengganggu daya beli dan defisit anggaran melebar.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penurunan anggaran subsidi energi itu lantaran adanya perubahan kesepakatan awal harga minyak mentah US$ 50 per barel menjadi US$ 48 per barel. Namun, perkembangan terakhir, harga minyak mentah dunia kembali naik melebihi US$ 48 per barel.

"Proyeksi harga minyak mentah dunia dengan berkurangnya jumlah pasokan dari AS dan peningkatan permintaan minyak dari China serta naiknya permintaan menjelang musim dingin akan membuat harga minyak naik di atas US$ 50 per barel pada semester-II 2017," kata Bhima kepada KONTAN, Minggu (30/7).


Tahun 2016 lalu, anggaran subsidi energi versi Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) mencapai Ro 106,8 triliun dengan asumsi ICP US$ 40 per barel. Bhima memperkirakan, jika harga minyak mencapai US$ 50 per barel, setidaknya butuh anggaran subsidi energi sebesar Rp 105 triliun.

Peningakatan harga minyak tersebut akan berdampak pada penyesuaian harga energi dan berdampak ke inflasi harga yang diatur pemerintah (administered price). Bhima meramal, inflasi akhir tahun bisa tembus 4,5% dengan ICP US$ 46-US$ 47 per barel.

Jika anggaran subsidi energi tak cukup dan berdampak pada penyesuaian tarif energi, maka inflasi akhir tahun bisa melampaui 4,5%. Akibatnya, daya beli yang sudah terpukul sejak awal tahun bisa semakin turun.

"Berat sampai akhir tahun kalau tidak ada penyesuian harga BBM," kata Bhima. Sebab, jika anggaran subsidi energi energi dipaksa naik maka defisit anggaran APBN-P yang dipatok 2,92% dari Produk Domestik Bruto (PDB) berpotensi jebol.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini