KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kembali ada pembantu presiden yang tersandung kasus rasuah. Dimana Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi. Eddy bukan yang pertama dari pembantu presiden yang tersandung kasus, sebelumnya ada Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai, tersandungnya mereka menjadi bukti bahwa tata kelola pemerintahan buruk. Bahkan jika diblejeti lebih dalam Boyamin menyebut bisa saja ada pemain lain di jajaran pemerintahan.
Baca Juga: KPK Surati Polda Metro Jaya, Minta Penundaan Pemeriksaan Firli Bahuri "Bisa tambah banyak karena buruknya tata kelola pemerintahan. Misalnya saja dari sektor pengadaan barang dan jasa sudah mulai terungkap jaman kasus Juliari, bagaimana pengadaan sejak awal sudah diarahkan pemenang siapa, harga dimahalkan, lalu pelaksanaan dan pertanggungjawaban jelek," kata Boyamin dihubungi Kontan.co.id, Minggu (12/11). Kemudian bukti lain tata kelola pemerintahan yang masih buruk adalah adanya kasus korupsi BTS. Kasus tersebut kata Boyamin semakin memperjelas bahwa dari sisi pengadaan barang di pemerintahan buruk. "Di BTS pengerjaan fiktif tetap dibayar. Lalu sejak awal tender udah diatur siapa pemenang harganya dibuat mahal. Tidak ada kompetisi. Ini sistem tata kelola sistem pemerintahan yang buruk seperti itu," imbuhnya. Tak hanya dari sisi pengadaan barang, Boyamin juga menyebut dari lini perizinan juga masih belum berjalan baik. Misalnya saja di perizinan tambang. Kemudian sistem kepegawaian yang naik jabatan lantaran pemberian gratifikasi.
Baca Juga: MAKI & LP3HI Persoalkan Airlangga Hartarto di Kasus CPO, Kejagung & KPK Angkat Bicara Tiga sektor tersebut masih belum berjalan dengan baik, maka Boyamin menyebut ketiganya menjadi bukti sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia masih buruk dalam 10 tahun terakhir. Selain sistem tata kelola pemerintahan yang buruk, penyebab lain ialah sistem politik yang berjalan Ia menyebut termasuk politik transaksional. "Mulai dari pemilu sampai menteri, direksi hingga komisaris BUMN bahkan, ini hanya soal jatah menjatah. Nah karena itu otomatis untuk kembalikan biaya politik yang tinggi balik modal dan orang-orang ngga kompeten untuk duduki jabatan tersebut, maka ada transaksional baru. Ini jadi keprihatinan kita," ujarnya. Boyamin menambahkan, pemerintah saat ini hanya membangun infrastruktur baik jalan tol, bendungan dan lainnya. Namun pemerintah masih belum berhasil dalam membangun integritas, kapasitas dan utamanya bangun tata kelola pemerintahan yang baik.
Baca Juga: Kinerja Kementerian Pertanian dalam Pusaran Krisis Pangan dan Dugaan Korupsi "Kalau tata kelola yang baik kan bagaimana agar tak ada tiris san rembes. Kita itu udah bocor sebocor-bocornya. Misalnya proyek BTS proyek Rp 10 triliun kok rugi Rp 8 triliun bukan bocor tapi jebol," kritik Boyamin. Dengan adanya menteri bahkan wakil menteri yang tersandung kasus rasuah, Boyamin kembali menegaskan ada tata kelola pemerintahan yang buruk dan politik transaksional yang masih terjadi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli