KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha terus menyuarakan keberatan dimasukkan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Kesehatan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi menyebut, aturan mengenai produk tembakau tak seharusnya masuk dalam RPP Undang-undang Kesehatan. Menurutnya, beleid produk tembakau harus berdiri sendiri seperti PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Zat adiktif. Dimana PP tersebut merupakan turunan UU Kesehatan tahun 2009.
"Gaprindo pada dasarnya mempersoalkan pengaturan PP Kesehatan yang bersifat omnibus, sangat gemuk, dan tidak fokus karena kluster zat adiktif berbeda dengan kluster rumah sakit, alat kesehatan, sediaan farmasi dan tenaga medis," kata Benny kepada Kontan.co.id, belum lama ini. Menurutnya, Industri Hasil Tembakau (IHT) mempunyai ekosistem yang sangat luas dan mempunyai kepentingan sendiri. Di samping itu Benny mengatakan, dalam RPP Kesehatan juga dinilai sarat aspek larangan.
Baca Juga: Dinilai Rugikan Petani, APCI Tolak Aturan Tembakau di RPP Kesehatan Benny menjelaskan, dengan aturan yang ada saat ini IHT sudah sangat berat. Di mana produksi kini terus menurun. Belum lagi jika aturan mengenai IHT diperketat.
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI, Nur Nadlifah, mendukung dikeluarkannya pengaturan komoditi tembakau dari RPP tersebut. Sikapnya sejalan dengan hasil Halaqoh Nasional yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). "Kami memang ingin mengarahkan aturan (produk tembakau) ini dikeluarkan dari RPP kesehatan,” ujar dia dalam keterangannya, Kamis (26/10). Ia menyebut, pemisahan aturan produk tembakau dari RPP Kesehatan dinilai sangat memungkinkan dilakukan. Sebab, dalam RPP Kesehatan memuat banyak larangan bagi produk tembakau, mengesankan produk tembakau seolah produk terlarang. Dimasukkannya produk tembakau ke dalam RPP mengindikasikan adanya upaya untuk menyetarakan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika. Padahal, produk tembakau jelas merupakan produk legal yang keberadaannya turut mendorong perekonomian negara, maka semestinya isi aturan produk tembakau adalah bukan larangan. Nur Nadlifah menyarankan Kementerian Kesehatan sebagai leading sector penyusunan RPP Kesehatan harus lebih melibatkan petani, pekerja, dan seluruh elemen masyarakat yang terlibat di industri tembakau dalam menentukan arah yang tepat tanpa harus ada pihak yang dirugikan. Secara rinci, ada lima poin yang disampaikan kepada pemerintah paska kegiatan pertemuan halaqoh (P3M) tersebut. Pertama, pembahasan RPP Kesehatan terkait Pengamanan Zat Adiktif harus melibatkan partisipasi publik secara luas dan berimbang serta mengeluarkan pasal-pasal terkait Pengamanan Zat Adiktif dari draft RPP 2023 serta dibahas secara terpisah. Kedua, RPP Kesehatan harus mengacu pada prinsip atau kaidah kemaslahatan umat secara umum, yaitu tasharruful imam ‘ala al-ra‘iyyah manuthun bil mashlahah atau kebijakan negara atau pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan.
Baca Juga: Asosiasi Koperasi dan Ritel Minta Pemerintah Lebih Adil, Saat Bikin Regulasi Rokok Ketiga, perumusan RPP harus mengacu pada prinsip-prinsip Pengayoman, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, Keadilan, Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan, Ketertiban Dan Kepastian Hukum, dan/atau Keseimbangan, Keserasian, serta Keselarasan, sebagaimana amanat dalam pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Keempat, Pemerintah bersama berbagai pemangku kepentingan merumuskan pasal-pasal alternatif terkait RPP yang non-diskriminatif, lebih berkeadilan, dan berkedaulatan. Kelima, P3M sebagai inisiator Halaqoh Nasional mendorong terbangunnya jejaring aliansi masyarakat sipil, asosiasi, akademisi, serta tokoh agama untuk advokasi kebijakan tembakau di pusat dan daerah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dina Hutauruk