KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Melalui beleid Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, pemerintah berencana kembali membuka keran ekspor pasir laut. Dimana rencana pembukaan ekspor tersebut dilakukan pasca 20 tahun sebelumnya dilarang. Anggota Komisi VI DPR RI Amin AK menilai, ketimbang manfaatnya rencana ekspor pasir laut justru akan lebih banyak mudharatnya. Terutama dalam konsistensi implementasi pengawasan dan ketegasan pemerintah terkait pengerukan pasir laut akibat sedimentasi sesuai dengan aturan yang ada "Eksploitasi di kawasan remote seperti itu, sangat sulit pengawasannya dan kinerja dalam permasalah ini sangat diragukan," kata Amin dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/1).
Baca Juga: Kemendag: Ekspor Pasir Laut Belum Dibuka, Masih Akan Dibahas di Tingkat Menko Peraturan Pemerintah (PP) No. 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut, selain bertentangan dengan Undang-Undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menurut Amin juga merusak lingkungan dan berdampak pada nelayan. Sementara itu, kegiatan bisnis eskpor pasir laut juga dapat merusak lingkungan. Ia memberi contoh, ketika ekspor pasir laut pertama pada tahun 1970 hingga saat bisnis ini dilarang pada tahun 2003, 45 juta meter kubik pasir laut telah digali. Jumlah tersebut belum termasuk pasir yang hilang akibat kegiatan ilegal. Dampaknya adalah kerusakan pada daerah pesisir, kerusakan terumbu karang, dan hilangnya beberapa pulau kecil. "Ini tidak akan diganti atau dicover oleh penerimaan negara," imbuhnya.
Baca Juga: KKP Jamin Kebijakan Ekspor Pasir Laut Tak Akan Merusak Lingkungan Amin menyebut, kebijakan ini juga akan lebih menguntungkan Singapura. Pasalnya, sebelum larangan ekspor pasir laut diterbitkan, Indonesia merupakan pemasok pasir laut utama Singapura untuk reklamasi lahan. Di mana Indonesia mengekspor lebih dari 53 juta ton pasir laut per tahun antara 1997-2002. Amin melanjutkan, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019, Singapura adalah pengimpor pasir laut terbesar di dunia dalam dua dekade terakhir, sebanyak 517 juta ton dari negara-negara tetangga. Malaysia sendiri akhirnya melarang ekspor pasir laut pada tahun 2019. "Meskipun pemerintah berdalih PP No. 26/2023 dikeluarkan dalam upaya meningkatkan penerimaan negara melalui PNBP, namun banyak pihak yang mencurigai peraturan ini memudahkan politisi untuk mendapatkan dana menjelang pemilihan umum 2024," jelasnya. Selain PP No. 26/2023, Pemanfaatan pasir laut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5/2021 tentang Pelaksanaan Perizinan Berusaha. Ini adalah salah satu aturan turunan dari Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun, dalam PP ini kata Amin belum mengatur bisnis penggalian pasir laut, termasuk lisensi ekspor.
Baca Juga: Ekonom: Keuntungan Ekspor Pasir Laut Tidak Lebih Besar dari Kerugian yang Dihasilkan "Munculnya PP No. 5/2021 juga menimbulkan konflik antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kedua lembaga tersebut mengklaim kewenangan atas lisensi investasi untuk mengekstraksi pasir laut," kata Amin. Atas dasar hal tersebut, Amin mengatakan pemerintah lebih baik mencabut PP No 26 tahun 2023 yang bakal melegalkan ekspor pasir laut. Sebagai informasi dalam beleid PP No 26 tahun 2023, dijelaskan bahwa pengelolaan hasil sedimentasi di laut bertujuan untuk menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut.
Pengelolaan ini juga bertujuan mengoptimalkan hasil sedimentasi di laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.
Baca Juga: Kemendag Tegaskan Pasir Laut Masih Jadi Komoditas yang Dilarang Ekspor Adapun, pengelolaan hasil sedimentasi di laut meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan. Hasil sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan, yakni berupa pasir laut maupun material sedimen lain berupa lumpur. Nantinya, material tersebut dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, salah satunya ekspor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto