JAKARTA. Keberadaan Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi terus menuai kontroversi. Anggota Komisi VII DPR RI, Dewi Aryani, menilai keberadaan badan itu tidak penting. “Saya usulkan badan dibubarkan. Alasannya, jelas-jelas dalam dokumen perbandingan kelembagaan yang mengatur bidang hilir migas, yang dibuat oleh BPH Migas sendiri, tercatat perannya hampir sama dengan unit yang ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” kata politisi dari fraksi PDI-P itu (3/10). Ia mencatat hanya ada satu perbedaan dalam dokumen tersebut, yakni terkait sumber dana. Bila sumber dana BPH Migas berasal dari iuran, unit di Kementerian ESDM sumber dananya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika demikian, Dewi menilai, lebih baik segala tugas dan fungsi BPH Migas dikembalikan pada unit yang ada di Kementerian ESDM itu. “Kenapa harus ragu, menurut saya, lembaga yang mungkin penting, namanya penting, tugasnya penting, tapi kalau implementasinya tidak menunjukkan kepentingannya buat apa dipertahankan. Buang-buang waktu dan tenaga,” tegasnya. Ia mengklaim lebih baik memaksimalkan dan mendorong kinerja unit yang ada di kementerian agar tidak terkebiri perannya. Suara serupa disampaikan anggota komisi VII lainnya, Sutan Sukarnotomo. “Iya saya setuju itu, lebih baik dibubarkan saja kalau kinerjanya tidak kelihatan dan tumpang tindih dengan kementerian. Jadi malah tidak efektif,” kata anggota fraksi Partai Demokrat itu. Terkait hal ini, Ketua Komisi VII, Teuku Riefki Harsya, meyakini pendapat-pendapat yang dikemukakan rekan-rekannya itu merupakan pandangan pribadi. Bukan sama sekali pandangan fraksi, apalagi komisi. Komisi VII sendiri saat ini tengah fokus membahas rencana revisi Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Teuku mengingatkan bahwa anggota dewan tetap punya hak pribadi untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. “Dan tiap-tiap orang punya gaya sendiri ya,” lanjutnya.
Anggota komisi VII serukan agar BPH Migas dibubarkan
JAKARTA. Keberadaan Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas Bumi terus menuai kontroversi. Anggota Komisi VII DPR RI, Dewi Aryani, menilai keberadaan badan itu tidak penting. “Saya usulkan badan dibubarkan. Alasannya, jelas-jelas dalam dokumen perbandingan kelembagaan yang mengatur bidang hilir migas, yang dibuat oleh BPH Migas sendiri, tercatat perannya hampir sama dengan unit yang ada di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,” kata politisi dari fraksi PDI-P itu (3/10). Ia mencatat hanya ada satu perbedaan dalam dokumen tersebut, yakni terkait sumber dana. Bila sumber dana BPH Migas berasal dari iuran, unit di Kementerian ESDM sumber dananya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika demikian, Dewi menilai, lebih baik segala tugas dan fungsi BPH Migas dikembalikan pada unit yang ada di Kementerian ESDM itu. “Kenapa harus ragu, menurut saya, lembaga yang mungkin penting, namanya penting, tugasnya penting, tapi kalau implementasinya tidak menunjukkan kepentingannya buat apa dipertahankan. Buang-buang waktu dan tenaga,” tegasnya. Ia mengklaim lebih baik memaksimalkan dan mendorong kinerja unit yang ada di kementerian agar tidak terkebiri perannya. Suara serupa disampaikan anggota komisi VII lainnya, Sutan Sukarnotomo. “Iya saya setuju itu, lebih baik dibubarkan saja kalau kinerjanya tidak kelihatan dan tumpang tindih dengan kementerian. Jadi malah tidak efektif,” kata anggota fraksi Partai Demokrat itu. Terkait hal ini, Ketua Komisi VII, Teuku Riefki Harsya, meyakini pendapat-pendapat yang dikemukakan rekan-rekannya itu merupakan pandangan pribadi. Bukan sama sekali pandangan fraksi, apalagi komisi. Komisi VII sendiri saat ini tengah fokus membahas rencana revisi Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Teuku mengingatkan bahwa anggota dewan tetap punya hak pribadi untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya. “Dan tiap-tiap orang punya gaya sendiri ya,” lanjutnya.