Angka kemiskinan semakin mencemaskan



JAKARTA. Klaim bahwa angka kemiskinan terus menurun sebagai prestasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono patut dikaji lagi. Begitu pula klaim bahwa laju pertumbuhan ekonomi tinggi bermanfaat memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Sebab ada masalah tersembunyi di balik kedua klaim ini.Memang benar, angka kemiskinan sesuai data Biro Pusat Statistik (BPS) terus turun hingga 13,3% di 2010. Sayang, ini sebenarnya bukan prestasi mencolok. "Penurunan kemiskinan setelah 1998 sampai kini lebih lambat daripada penurunan periode sebelumnya," kata Asep Suryahadi, Direktur SMERU Research Institute, kemarin (23/6).

Persoalan lain, saat ini ternyata kesenjangan angka kemiskinan antar-daerah semakin besar. Menurut Asep, angka kemiskinan terendah di Jakarta kurang dari 5%, diikuti oleh Bali dan Kalimantan Selatan. Sementara angka kemiskinan di Papua Barat mencapai 40% diikuti daerah di kawasan timur Indonesia seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Sangat timpang.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Armida Alisjahbana mengungkapkan permasalahan kemiskinan di negeri ini sangat pelik. "Penduduk yang berada di sekitar garis kemiskinan atau hampir miskin jumlahnya masih banyak," ujarnya pada acara peluncuran buku Centre for Strategic and International Studies (CSIS).


Asep membenarkan hal itu. Pada 2009, misalnya, ada 36% penduduk hampir miskin yang hidup di bawah US$ 2 per hari. "Sedangkan jumlah penduduk miskin 14,4%, jadi dua kali lipat lebih," ungkapnya.

Tanpa bicara angka, peningkatan kualitas hidup penduduk miskin juga tak sepenuhnya membaik. Menurut Asep, akses untuk sanitasi, pendidikan, air bersih, dan kesehatan secara umum bertambah. Namun, jika dicermati, kenaikan itu tak signifikan bagi kelompok penduduk miskin.Bukti nyata lain bahwa penurunan kemiskinan hanya cantik di atas kertas adalah makin rendahnya daya beli yang dapat dipenuhi oleh upah minimum regional (UMR). "Secara nominal UMR naik, namun di saat bersamaan daya beli turun akibat inflasi," kata Henky Widjaja, peneliti Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden.

Ia mencontohkan, pada 1998, UMR rata-rata berkisar Rp 300.000–Rp 800.000 per bulan. Kala itu, harga beras sekitar Rp 1.500 per kilogram (kg), uang sekolah negeri di bawah Rp 10.000 dan harga bensin masih di bawah Rp 2.000 per liter. Sekarang, UMR rata-rata Rp 600.000–Rp 1 jutaan. Namun, harga beras telah naik ke Rp 4.000 per kg, uang sekolah negeri minimal Rp 10.000, dan harga bensin telah menjadi Rp 4.500 per liter. "Jelas kenaikan biaya hidup tak sebanding kenaikan upah," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Test Test