Anglo American Bakal Kurangi Produksi Batubara



KONTAN.CO.ID - LONDON. Anglo American mengatakan jumlah produksi tembaga bergerak mendatar pada semester pertama. Di saat sama Anglo mengatakan akan membatasi produksi batubara kokas tahun ini. Kondisi ini kemungkinan membebani pendapatan beberapa bulan setelah perusahaan ini menolak tawaran pengambilalihan dari saingannya BHP.

Produksi tembaga Anglo naik 2% menjadi 393.800 metrik ton dalam enam bulan hingga Juni. Realisasi ini sesuai target Anglo.

Permintaan tembaga menurut Anglo akan meningkat tajam di tahun-tahun mendatang. Sebab tembaga banyak digunakan untuk panel surya, mobil listrik hingga pusat data untuk kecerdasan buatan.


Baca Juga: Global Nickel Prices Have Probably Hit a Floor, Says Macquarie

Pada saat yang sama, Anglo memangkas proyeksi produksi batubara menjadi antara 14 juta ton hingga 15,5 juta ton dari sebelumnya 15 hingga 17 juta ton. Ini karena adanya kebakaran bawah tanah di tambang batubara Grosvenor, Australia pada 29 Juni.

Selain itu, Anglo telah menjual lima tambang batubara, proyek pengembangan dan usaha patungannya yang masih beroperasi di Australia. Strategi ini bagian dari rencana Anglo mendivestasikan aset-aset yang kurang menguntungkan dan fokus pada peningkatan produksi tembaga.

“Tambang telah distabilkan dan kami memantau kembali gas bawah tanah, sebelum masuknya kembali ke dalam tambang dengan aman,” kata Anglo dalam pernyataannya, Kamis. Menurut perusahaan ini, kerusakan dan pembukaan kembali tambang kemungkinan memakan waktu beberapa bulan.

Produksi bijih besi Anglo juga stagnan di 31 juta ton pada semester pertama, sementara produksi logam golongan platina turun 5% dan produksi berlian kasar turun 19%. 

Baca Juga: Harga Emas Spot Melayang Mendekati Rekor Tertingginya pada Selasa (21/5) Pagi

“Namun, kami melihat prospek Anglo lebih seimbang dalam jangka pendek karena penjualan aset batubara pembuatan baja menjadi lebih rumit pada saat ini, kami memperkirakan harga bijih besi akan naik pada paruh kedua tahun 2024,” kata Marina Calero Analis RBC Capital Markets dikutip Reuters.

Editor: Avanty Nurdiana