Anies, Betawi dan proyek reklamasi



Quo vadis! Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan stop segala proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Ini adalah bagian dari janji kampanye Anies saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 silam. Langkah itu diawali dengan menarik pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta (RTRKS Pantura) bersama DPRD DKI, Desember 2017.

Meski penyegelan itu dinilai setengah hati dalam menyetop reklamasi karena Gubernur Anies, dalam waktu sama menerbitkan Pergub Nomor 58 Tahun 2018 tentang Badan Pengelolaan Pulau Reklamasi, setidaknya laju reklamasi terhambat, bahkan terhenti.

Kenapa reklamasi harus dihentikan? Karena Jakarta adalah kota rawa. Batavia atau Betawi di abad ke-17 adalah kota seribu rawa. Di bagian utara, Jakarta berbatasan dengan laut Jawa. Sepanjang pantai Jakarta di Laut Jawa terhampar ribuan hektar hutan mangrove yang diselang-selingi aneka ragam rawa. Demikian luasnya hutan mangrove, sehingga wilayah yang kini bernama Bintaro di Jakarta Selatan, tadinya adalah areal hutan mangrove.


Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batawi, ingin merancang Jakarta menjadi kota air seperti kota di Jerman dengan Sungai Rhein-nya. Nama Batavia sendiri berasal dari nama sebuah suku di Jerman yang tinggal di lembah Sungai Rhein. JP Coen ingin menjadikan Batavia kota peristirahatan kota wisata dengan ikon hutan mangrove dan ribuan rawa tadi.

JP Coen tahu Batavia adalah kota yang basah karena berbatasan dengan Buitenzorg (Bogor) yang curah hujannya sangat tinggi. Banjir adalah rutinitas di Batavia yang menerima limpahan air dari Bogor dan 13 sungai yang mengalir di dalam wilayahnya.

Orang Belanda yang menata Betawi tahu persis fungsi rawa tersebut sehingga mereka tak pernah menguruk atau mengalihfungsikan. Rawa itu justru dipelihara untuk menampung limpahan air dari Bogor agar Jakarta terbebas dari banjir besar. Bahkan lebih jauh lagi, rawa dipelihara dan dilestarikan karena menjadi ikon wisata Betawi.

Bagaimana sekarang? Jumlah danau kecil atau rawa itu kini bisa dihitung dengan sepuluh jari tangan. Ratusan hektar rawa hilang. Ribuan hektar hutan mangrove lenyap. Jika pun ada, hutan mangrove ngumpet di Muara Angke dengan luas 25 hektare. Tak sebanding dengan simbol Jakarta sebagai ibu kota negara tropis yang punya hutan mangrove terluas di dunia (3,5 juta hektare).

Dengan luas 25 hektare, hutan mangrove Muara Angke dijadikan suaka margasatwa. Inilah hutan suaka margasatwa terkecil di dunia. Sebuah ironi untuk negeri yang mempunyai hutan tropis basah terluas di dunia.

Perspektif ekonomi lingkungan

Saat ini semua orang silau dengan reklamasi pantai utara seluas 5.000 ha lebih yang akan dijadikan kota masa depan. Tanah hasil reklamasi itu menguntungkan karena harganya mahal. Menurut perkiraan pengembang, harga tanah di areal reklamasi bisa Rp 20 juta per m²– Rp 30 juta per m². Artinya nilai tanah reklamasi itu Rp 1.000–Rp 1.500 triliun. Bila asumsi 50% tanah reklamasi untuk fasilitas umum dan sosial, nilainya menjadi Rp 500 triliun–Rp 750 triliun. Andai keuntungan pengembang 20% saja, uang yang diraih Rp 100–Rp 150 triliun.

Hebatnya, uang sebanyak itu tidak lari ke mana-mana. Alias masuk ke kantong para pengembang yang jumlahnya segelintir. Nah, bandingkan nilainya andai Teluk Jakarta itu ditanami hutan mangrove seluas 5.000 hektare. Di sana ada sekian jenis nilai ekonomi sumber daya hutan mangrove yang perlu dilihat.

Menurut M. Suparmoko (2009), nilai lingkungan mempunyai dua kategori nilai. Pertama instrumental value dan kedua instrinsic value. Nilai pertama, menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Yang kedua, yang terkandung dalam lingkungan, adalah nilai yang melekat pada ekosistem tersebut. Sebagai contoh, keberadaan hutan tropis di Kalimantan. Nilainya tidak hanya pada produk kayunya, tapi juga pada sumbangan hutan yang lain seperti sumber daya biologi. Keberadaan hutan itu juga berpengaruh pada cuaca, kandungan oksigen yang banyak, penyerapan CO2 yang besar, dan menarik wisatawan.

Dengan asumsi seperti itu, Elis Masrifah menghitung nilai ekonomi hutan mangrove Muara Angke Jakarta Utara, hasilnya Rp 12,24 juta per hektare per tahun. Memang kecil dibanding nilai tanah reklamasi yang mencapai Rp 200 miliar per ha (dengan asumsi harga per meter persegi Rp 20 juta). Tapi dari aspek ekonomi lingkungan, hutan mangrove besar sekali nilainya. Bukan saja hutan mangrove bisa menghambat ombak besar tsunami yang meruntuhkan semua bangunan dekat pantai, hutan ini juga menjadi tempat pemijahan ikan dan menghasilkan udara segar.

Benar, dari aspek ekonomi klasik model Adam Smith, memperluas hutan mangrove sekilas merugikan. Tapi jika dilihat natural integralistic yang menyatukan berbagai aspek ekonomi, memperluas hutan mangrove sangat menguntungkan. Dalam kaitan di atas, ahli lingkungan akan menilainya dengan pendekatan total economic value beserta implikasinya.

Dalam total economic value, parameter ekonomi tidak hanya mengukur nilai finansial yang ada saat itu, tapi juga mengukur nilai ekonomi yang tidak ada pada saat itu. Parameter ekonomi yang tidak ada pada saat itu di antaranya dampak lingkungan dan masa depan ekosistem akibat kerusakan alam.

Kasus penghilangan hutan mangrove dan reklamasi, misalnya, tidak bisa memakai pendekatan ekonomi klasik ala Adam Smith. Tapi harus memakai pendekatan ekonomi lingkungan (environomi) yang nilainya terkait dengan masa depan manusia, baik yang direct use maupun indirect use.

Taman wisata hutan mangrove, misalnya, nilai direct use bisa langsung terlihat karena keindahan alamnya bisa dijual untuk ekoturisme. Namun, nilai indirect use-nya juga sangat besar, karena hutan tersebut merupakan tempat konservasi tanaman langka dan penyerap udara kotor sekaligus penyuplai oksigen untuk wilayah sekitarnya. Yang terakhir ini, terkait keberlangsungan kehidupan manusia di masa depan. Karena itu, dari perspektif environomi, reklamasi yang menghasilkan uang ratusan triliun rupiah itu tak ada artinya dibandingkan kehancuran Teluk Jakarta di masa depan yang akan menyengsarakan manusia. Itulah tragedi reklamasi di masa depan.•

Nyoto Santoso Dosen Fakultas Kehutanan IPB

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi