KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga menilai, pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk guru, veteran dan lansia patut diapresiasi karena ini sebagai bentuk penghargaan kepada orang – orang yang dianggap berjasa. Hanya saja, ia mengkritisi pengenaan PBB dua kali lipat bagi lahan kosong di jalan protokol. “Ini tidak masalah untuk kota Jakarta artinya kalaupun mau kita hitung-hitungan kehilangan pajak dari guru lansia dan veteran masih bisa dicover pajak dari kegiatan lain seperti komersial, pariwisata dan lainnya. Kalau boleh saya sebut ini merupakan keputusan politik dan ini tentu secara politis akan menguntungkan pak Anies,” kata Nirwono, Minggu (28/4). Namun, Nirwono bilang keputusan untuk menaikkan PBB bagi pemilik lahan kosong di daerah Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, H.R Rasuna Said dan tempat lainnya justru tidak menguntungkan bagi pemilik lahan.
Menurutnya lahan-lahan di daerah tersebut kosong atau belum dibangun karena tiga faktor. Faktor pertama tanah itu masih dalam sengketa pengadilan. “Masalah utama di Jakarta ini sengketa lahan. Lahan itu bisa memiliki sertifikat lebih dari satu dua orang dan proses pengadilannya tidak mungkin dalam waktu yang singkat bahkan bisa 5 tahun – 10 tahun tidak beres-beres itu,” ucap dia. Faktor kedua, karena memang pemilik lahan belum memiliki cukup dana untuk membangun. Faktor ketiga kelompok yang sengaja membiarkan tanahnya kosong karna semakin lama harga lahan diprediksi akan naik. “Dia menunggu harga yang paling pas karena kan harga tanah naik terus. Ini tentu bagi dia ini akan menjadi investasi,” ungkap dia. Ia melanjutkan, pengenaan pajak dua kali lipat akan merugikan pemilik lahan. Pasalnya, bisa saja pemilik lahan itu sedang menghadapi sengketa lahan di pengadilan atau belum memiliki modal untuk membangun. Sebab itu, Nirwono meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemprov DKI Jakarta harus memetakan status tanah kosong terlebih dahulu sebelum mengenakan pajak. “BPN dan Pemprov DKI ini harus segera memetakan status tanah kosong yang dikenakan pajak itu bagaimana apakah masih dalam sengketa apakah pemilik lahan tidak punya modal sehingga menambah dua kali lipat menjadi tidak tepat,” ucap dia. Selain itu, kebijakan pemberian diskon pajak bagi pemilik lahan sebesar 50% jika lahannya digunakan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dinilai kurang menarik. Sebab, setelah membangun RTH pemilik lahan juga harus merawatnya. “Berati ada biaya perawatan, bisa jadi diskon yang diberikan 50% bisa saja biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan juga 50% jadi total 100% juga sebenarnya. Ini yang jadi perhatian,” ungkap dia. Ia meminta Pemprov DKI Jakarta dapat mencontoh apa yang dilakukan Pemerintah Kota Singapura, Hongkong dan Sydney. Yaitu pemerintah kota meminjam lahan tanah kosong mereka. Kemudian pemkot menghijaukan lahan yang dipinjamnya tersebut. “Selama dipinjam si pemilik lahan dibebaskan biaya pajak, status kepemilikan tetap milik pemilik lahan tadi sehingga si pemilik lahan tidak dirugikan. Jadi dia fokus bereskan sengketa atau cari dana karena dia tadi tidak kena pajak,” kata dia. Dengan begitu, kata Nirwono, pemilik lahan diringankan dan pemerintah mendapat RTH sementara. Jika ke depannya pemilik lahan sudah punya dana dan lahannya bukan lahan sengketa, pemilik lahan bisa mengajukan proposal pembangunan kepada pemerintah. Kemudian pemerintah bisa memerintahkan punya dua syarat utama. Pertama pemilik lahan harus mengganti biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal menghijaukan tadi dan perawatannya “Supaya dana tadi dapat digunakan oleh pemerintah untuk menghijaukan lahan kosong di lain lokasi sehingga tidak membebani APBD,” ungkap dia. Syarat kedua, jika ingin membangun lagi diwajibkan yang boleh dibangun hanya 70 persen dari luas lahan. Sisanya 30 persen yang dipertahankan sebagai RTH. “Artinya dapat jalan tengah
win – win solution. Pemerintah dapat RTH yang status kepemilikannya tetap punya pemilik lahan. Pemilik lahan punya nafas untuk mencari modal dan untuk membangun kawasan tersebut,” ucap dia. Nirwono mengatakan, properti yang berada di sekitar RTH memiliki harga yang tinggi. Seperti yang terjadi di kota – kota besar di dunia misalnya harga properti di New York memiliki harga tinggi untuk properti yang berada di sekitar RTH atau memiliki latar pemandangan RTH. “Dengan naiknya NJOP di sekitar taman tadi pemerintah bisa dapat keuntungan NJOP dari lahan lainnya. Pemerintah mengambil keuntungannya di situ jangan diambil dari pemilik lahan tadi,” ucap dia. Sementara itu, terkait kebijakan pendataan ulang wajib pajak seperti di kawasan Tanah Abang, Kebayoran Baru, Penjaringan dan Cilandak, Ia menilai perlu dilakukan pendataan ulang supaya tidak salah sasaran. Ia mencontohkan survei yang dilakukan di daerah Kebayoran Baru dan Menteng maka yang tergambar adalah orang kaya. Padahal banyak ditemukan pemilik lahan itu merupakan pensiunan yang tidak mampu membayar NJOP yang terus naik, sehingga pemilik lahan sering kali menyewakan bangunannya atau nanti menjual bangunannya kepada pihak lain.
“Masalahnya begitu mereka menyewakan atau menjualnya fungsi bangunan berubah. Entah itu jadi kantor, kafe atau lainnya,” ucap dia. Nirwono bilang, jika hal ini terus dibiarkan lambat laun kawasan di Jakarta menjadi tempat usaha komersial. Meski, di satu pihak mendapatkan keuntungan dengan adanya pajak. Tetapi pada saat bersamaan terjadi pelanggaran tata ruang dan tata bangunan secara masif. “Artinya, kita bicara tata ruang yang berubah secara total. Dampaknya kalau kita berkunjung di tempat itu pada sabtu – minggu daerah ini sepi ditinggal penghuni karena kawasannya berubah menjadi tempat usaha,” tutur dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi