Anindya Novan Bakrie: Berkat buku, jadi tambah uang saku



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Buku adalah jendela dunia. Bagi Anindya Novan Bakrie, jargon tersebut benar-benar ia alami dalam kehidupannya. Pria yang menjabat sebagai Presiden Direktur PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) ini belajar banyak dari buku.

Pria yang akrab disapa Anin ini antara lain mulai mengenal dunia investasi berkat membaca buku. "Semua berawal dari buku. Saya suka membaca, terutama buku soal entrepreneurship. Favorit saya, Peter Lynch," tutur Anin saat berbincang bersama Kontan.co.id belum lama ini.

Berkat buku-buku yang ia baca, Anin pun mulai mengenal investasi saham secara perlahan. Pria pengemban gelar sarjana teknik industri lulusan Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat, ini sejatinya sudah punya niat berinvestasi sejak masih kuliah. Apa daya, selain disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, saat itu Anin juga belum punya duit lebih yang bisa diinvestasikan.


Anin baru mulai bisa masuk berinvestasi ke pasar saham saat ia sudah bekerja. Usai lulus kuliah di tahun 1996, Anin langsung bekerja di salah satu perusahaan investasi yang saat itu cukup bergengsi di AS, yakni Salomon Brothers. "Kebetulan saat bekerja itu saya di investment banking," kenang Anin. Perusahaan ini sudah tidak lagi beroperasi sejak 2003 silam.

Rule of thumb

Dari situlah, pengalaman investasi saham Anin dimulai. Ia mengakui kala itu masih terbilang amatir. Pertama kali membeli saham, ia hanya mengandalkan pengetahuannya soal emiten tersebut.

Padahal, lanjut Anin, akan lebih bagus kalau memang benar-benar tahu mulai dari kondisi makro, fundamental perusahaan dan analisa lainnya. "Dulu, cuma yang saya tahu, beli saham Boeing, Coca-Cola juga pernah," kisah Anin.

Seiring berjalannya waktu, putra pengusaha dan politikus Aburizal Bakrie ini mulai benar-benar paham kiat-kiat berinvestasi. Salah satu prinsip investasi yang ia pegang adalah, rule of thumb.

Aturan tersebut mengelompokkan aset investasi di pasar modal ke dalam dua portofolio, yakni saham dan fixed income seperti obligasi. Komposisi kedua portofolio itu harus disesuaikan seiring dengan bertambahnya umur.

Dulu, saat bekerja dan praktik langsung bermain saham, umur Anin sekitar 26 tahun. Sekitar 20% portofolio Anin kala itu ada di obligasi. Sisanya di saham. "Namanya juga masih muda, kan, lebih mengincar story growth ketimbang dividen," jelas Anin.

Sekarang, usia Anin sudah mencapai 44 tahun. Porsi portofolio investasi Anin di obligasi juga membesar, menjadi sekitar 30% dari total investasinya di pasar modal. Berinvestasi sekaligus di obligasi dan saham membuat investasinya jadi saling melengkapi.

Saham memberi potensi gain yang lebih tinggi. Sebaliknya, obligasi memiliki volatilitas yang rendah dengan imbal yang juga kadang tak sebesar sabam. Tapi, imbal hasil dari obligasi jauh lebih pasti.

Tapi, Anin punya portofolio lain yang sifatnya juga saling mengompensasi. Anin juga menempatkan sebagian dari dana investasinya ke sektor properti. "Kalau properti, itu ibaratnya untuk hedging," kata Anin.

Imbal hasil instrumen pasar modal seperti saham dan obligasi cenderung naik. Tapi, pasti ada penurunan. Bahkan, penurunannya bisa dalam, seperti sekarang.

Lain halnya dengan properti. Sepertinya hampir tidak ada faktor yang bisa membuat harga properti turun di tengah tren kenaikan, kecuali perang atau bencana. Meski sektor properti sedang lesu seperti saat ini pun, tidak ada harga properti yang turun.

Anin punya kalkulasi sendiri saat berinvestasi. Sepertiga duit miliknya yang ditujukan untuk investasi dialokasikan ke properti. "Dalam sepuluh tahun, duitnya nanti bisa dobel," promosi Anin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati