Melihat pelaksanaan initial public offering (IPO) pada tahun ini, hingga akhir November 2018 kemarin, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah kedatangan emiten baru sebanyak 53 emiten atau telah melampaui jumlah IPO di sepanjang tahun 2017 yang cuma sebanyak 31 emiten. Adapun hingga minggu kedua November 2018 tercatat 49 emiten. Jadi bisa dipastikan jumlah IPO tahun ini bakal menjadi jumlah terbanyak sepanjang sejarah. Hal yang menarik dari IPO tahun ini adalah kinerja harga saham pada perdagangan di hari pertama di pasar sekunder. Dari 49 emiten, sebanyak 41 emiten IPO tersebut mengalami autorejection atau mengalami kenaikan harga 49%–70%, di perdagangan pertamanya di pasar sekunder. Sementara empat emiten naik 3%–7%, satu emiten flat dan dua emiten sahamnya turun saat hari pertama diperdagangkan di pasar sekunder. Jika dibandingkan IPO tahun lalu, emiten yang mengalami autorejection di hari pertama mengalami peningkatan signifikan. Tahun 2017 dari 36 IPO, terdapat 23 emiten yang mengalami autorejection di hari pertama. Tidak dipungkiri inilah yang menjadi magnet yang kuat bagi para investor di bursa dalam menanti IPO. Kejadian naiknya harga saham IPO saat perdagangan perdananya di lantai bursa memperlihatkan adanya penetapan harga IPO yang lebih murah atau underpricing.
Dalam penetapan harga IPO, hampir di seluruh pasar modal di dunia ditemukan harga IPO yang ditetapkan dengan harga yang murah. Hipotesa yang dibangun untuk menjelaskan kejadian itu beragam seperti kepentingan penjamin emisi (underwriter) dalam suksesi penjualan saham di pasar perdana. Jadi semakin murah harga IPO semakin mudah underwriter melakukan kewajibannya dalam menjual saham tersebut. Ada juga penyebab pengaruh jumlah saham yang ditawarkan saat IPO, pengaruh kondisi pasar saat IPO dan lainnya. Dan hingga kini fenomena kenaikan harga saham di perdagangan perdana masih terjadi. Naiknya harga saham saat listing perdana di bursa kita sangat fenomenal. Bahkan saat IHSG sedang dalam kondisi bearish sekalipun, kinerja hari pertama saham IPO tersebut tetap perkasa. Banyak juga, kenaikan sahamnya terus berlanjut di hari-hari berikutnya mencapai kenaikan ratusan persen dan bahkan ada yang mencapai 3.000% dalam waktu di bawah satu tahun. Pola kenaikan harga saham tersebut tentu sulit dijelaskan dengan informasi fundamental, sehingga aksi beli masif yang membuat sahamnya terus melambung mengarah ke perilaku irasional. Di sinilah investor ritel harus cermat dan tetap rasional. Pertimbangan fundamental sebagai syarat utama dalam memutuskan pembelian saham IPO tetaplah menjadi prioritas karena harga saham dibentuk dari persepsi fundamental perusahaan. Instrumen MCB Dalam kondisi market saat ini yang boleh dibilang dalam kondisi turun, bisa menjadi momentum yang baik untuk mengoleksi saham IPO dari perusahaan yang memiliki fundamental dan prospek yang bagus. Dalam kondisi market yang sedang turun, valuasi diskon yang diberikan pada harga IPO biasanya akan semakin besar. Dalam satu bulan terakhir di tahun ini, terdapat beberapa IPO emiten yang familiar bagi masyarakat. Sebut saja Duck King dan Garudafood. Meskipun nama yang dikenal bukan menjadi jaminan, tapi hal tersebut menjadi ukuran berhasilnya penerimaan pasar terhadap produk/jasa yang dihasilkan masing-masing perusahaan. Pada Oktober, Duck King (PT Jaya Bersama Indo Tbk) dan Garudafood (PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk) resmi memulai perdagangan saham di bursa. Duck King telah menetapkan harga IPO sebesar Rp 505 per saham dengan jumlah saham yang dilepas sebanyak 513,3 juta (40% dari modal ditempatkan dan disetor) termasuk di dalamnya untuk program emploee stock allocation (ESA) dan MSOP masing-masing 0,036% dan 9,091%. Sekitar 80% dana IPO akan digunakan untuk penambahan gerai termasuk renovasi dan sisanya untuk modal kerja. Saham berlabel DUCK ini ditutup menguat sampai batas autorectuion di hari pertama. Garudafood dengan produk Kacang Garuda, Chocolatos, Gery, Leo dan Clevo, menetapkan harga IPO Rp 1.284 per lembar saham. Tergabung dalam sektor makanan dan minuman, emiten dengan kode saham GOOD ini masuk dan bergabung dengan emiten makanan minuman lainya seperti INDF, ICBP, MYOR, ULTJ, dan ROTI. Garudafood menerbitkan 762 juta saham atau sebanyak 10,34% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh. Dari jumlah tersebut sebanyak 727,84 juta untuk pelaksanaan konversi MCB (mandatory convertible bond); 3,5 juta untuk karyawan perusahaan (employe stock option) dan sisanya masyarakat sebanyak 31,5 juta. Sebagai salah satu pendanaan perusahaan, instrumen MCB bisa mendatangkan keuntungan bagi penerbit instrumen tersebut karena berbunga rendah atau tanpa bunga sama sekali. Dan bagi investor bisa mendapat saham sesuai harga kesepakatan. Tidak jauh berbeda dengan IPO emiten PT Map Boga Adiperkasa (MAPB), anak usaha PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI) di tahun 2017 lalu, dan IPO emiten MD Picture (FILM) yang listing di bulan lalu. Penerbitan saham barunya juga diperuntukkan untuk konversi MCB. Saham GOOD juga berhasil ditutup sampai batas autorejection.
Menarik mencermati IPO emiten yang memiliki produk/jasa yang sudah dikenal secara luas oleh masyarakat. PT Net Visi Media atau yang dikenal Net TV yang bergerak dibidang jasa konsultasi manajemen, bisnis dan periklanan juga akan merencanakan IPO dalam waktu dekat. Rencananya juga menerbitkan saham yang diperuntukan untuk MCB. Meski belum melakukan public expose, Net TV memiliki historis pertumbuhan pendapatan yang tinggi. Sesuai dengan posisinya sebagai penguasa pasar terbesar (45%) dalam jumlah penonton dengan segmen muda yakni di usia 18 35 tahun (Riset AC Nielsen 2015). Dalam kondisi market yang sedang tertekan oleh imbas pelemahan rupiah, kenaikan suku bunga The Fed, perang dagang dan bahkan pemilu tahun depan tentu membuat risiko (uncertainty risk) semakin besar. Pada kondisi seperti ini membuka peluang adanya penetapan harga ke arah yang lebih rendah dari rentang harga IPO yang ditawarkan. Bagi emiten yang memiliki fundamental yang bagus tentu akan menjadi sangat menarik bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Dengan prospek yang bagus, peluang cuan dari saham si emiten menjadi lebih besar.•
Alfred Nainggolan Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi