JAKARTA. Krisis keuangan yang menggedor perbankan dunia bisa menghambat proyek besar PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Emiten pertambangan milik negara ini mulai ragu bisa memperoleh dana besar bagi proyek PT Indonesia Chemical Alumina (ICA). Sedianya, Japan Bank for International Corporations (JBIC) akan mendanai 65% dari total kebutuhan proyek di Tayan, Kalimantan Barat, yang membutuhkan dana US$ 500 juta. Kini, ada gelagat JBIC bakal mengurangi porsinya, gara-gara krisis keuangan melanda dunia. Untuk itu, emiten berkode saham ANTM itu akan menemui JBIC, Januari 2009. Produsen emas dan nikel ini berniat menanyakan komitmen JBIC: apakah tetap mendanai 65% atau mengurangi porsinya. "Kalau JBIC tidak jadi mendanai sesuai rencana, kami harus mencari pendanaan dari investment bank atau bank lain," kata kata Direktur Utama Antam Alwin Syah Loebis, kemarin (21/12). Awalnya, ada dua sumber utama pembiayaan proyek ICA. JBIC akan menanggung 65% dari total kebutuhan dana atau US$ 325 juta. Kekurangannya, 35% dari total biaya atau US$ 175 juta, akan jadi tanggungan para pemegang saham. Saat ini, ada tiga pemegang saham saham ICA. Antam memiliki 65% saham ICA. Showa Denko KK memiliki 20% saham, dan Marubeni Corporation memiliki 15%. Nah, mereka ini menanggung sisa kebutuhan biaya proyek, sesuai porsi kepemilikan saham. "Semuanya harus tuntas kuartal pertama 2009," tutur Alwin. Merevisi nilai proyek Selain akan memastikan sumber pendanaan, ANTM juga sedang merevisi kebutuhan dana proyek chemical grade ini. Sebab beberapa kontraktor yang sudah memasukkan tender pembangunan proyek ini juga menghitung ulang kebutuhan dana proyek tersebut. Meski harga material sudah lebih murah, ANTM tidak serta merta langsung membuat anggaran proyek. "Siapa tahu harga material naik lagi," ucap Alwin. Makanya, ANTM belum menetapkan kontraktor yang membangun pabrik dengan kapasitas 300.000 ton chemical alumina per tahun itu. Persoalan revisi biaya proyek, ternyata bukan hanya menghadang proyek ICA. Proyek Antam yang lain, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pomalaa Antam juga menghadapi hal serupa. Pengerjaan proyek yang berlokasi dekat Pabrik FeNi III di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, juga jadi lamban. Para kontraktor yang sudah memasukkan nilai kontrak menarik lagi proposal mereka karena perlu meninjau ulang harga proyek. Tercatat 18 kontraktor PLTU Pomalaa yang menghitung ulang kebutuhan dana pembangkit berkapasitas 2 x 75 Megawatt ini. "Mereka akan memasukkan proposal lagi Januari," kata Alwin. Padahal, ANTM berharap bisa menyelesaikan proyek PLTU ini guna menekan biaya produksi, dan menghemat biaya pembelian solar. Hitungan awal, proyek ini bakal menelan biaya US$ 300 juta. Antam memiliki 20% saham PLTU ini dan harus menyetor dana proyek US$ 60 juta. Saham sisanya adalah milik para kontraktor. Para kontraktor itu pula harus menanggung sisa kebutuhan dana pembangunan proyek pembangkit listrik atau senilai US$ 240 juta. Selain dua proyek itu, ANTM juga sedang menyiapkan proyek pembangunan pabrik Feronikel IV. Rencana pembangunan pabrik ini muncul setelah BHP Billiton mundur dari joint venture agreement proyek pengembangan tambang nikel di Buli, Halmahera. "Proyek ini masih dalam tahap studi," kata Alwin. Analis Reliance Securities Gina Novrina Nasution melihat, ANTM tidak akan menemui kesulitan jika harus mencari opsi pendanaan baru. Antam adalah produsen nikel yang memiliki fundamental dan berkinerja baik. Lagi pula, sebagai perusahaan plat merah, Antam bisa mengandalkan pinjaman dari bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Rasanya tidak mungkin proyek ANTM berhenti karena kesulitan mencari dana," kata Gina.
Antam Mulai Ragu Peroleh Dana Buat Proyek ICA
JAKARTA. Krisis keuangan yang menggedor perbankan dunia bisa menghambat proyek besar PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Emiten pertambangan milik negara ini mulai ragu bisa memperoleh dana besar bagi proyek PT Indonesia Chemical Alumina (ICA). Sedianya, Japan Bank for International Corporations (JBIC) akan mendanai 65% dari total kebutuhan proyek di Tayan, Kalimantan Barat, yang membutuhkan dana US$ 500 juta. Kini, ada gelagat JBIC bakal mengurangi porsinya, gara-gara krisis keuangan melanda dunia. Untuk itu, emiten berkode saham ANTM itu akan menemui JBIC, Januari 2009. Produsen emas dan nikel ini berniat menanyakan komitmen JBIC: apakah tetap mendanai 65% atau mengurangi porsinya. "Kalau JBIC tidak jadi mendanai sesuai rencana, kami harus mencari pendanaan dari investment bank atau bank lain," kata kata Direktur Utama Antam Alwin Syah Loebis, kemarin (21/12). Awalnya, ada dua sumber utama pembiayaan proyek ICA. JBIC akan menanggung 65% dari total kebutuhan dana atau US$ 325 juta. Kekurangannya, 35% dari total biaya atau US$ 175 juta, akan jadi tanggungan para pemegang saham. Saat ini, ada tiga pemegang saham saham ICA. Antam memiliki 65% saham ICA. Showa Denko KK memiliki 20% saham, dan Marubeni Corporation memiliki 15%. Nah, mereka ini menanggung sisa kebutuhan biaya proyek, sesuai porsi kepemilikan saham. "Semuanya harus tuntas kuartal pertama 2009," tutur Alwin. Merevisi nilai proyek Selain akan memastikan sumber pendanaan, ANTM juga sedang merevisi kebutuhan dana proyek chemical grade ini. Sebab beberapa kontraktor yang sudah memasukkan tender pembangunan proyek ini juga menghitung ulang kebutuhan dana proyek tersebut. Meski harga material sudah lebih murah, ANTM tidak serta merta langsung membuat anggaran proyek. "Siapa tahu harga material naik lagi," ucap Alwin. Makanya, ANTM belum menetapkan kontraktor yang membangun pabrik dengan kapasitas 300.000 ton chemical alumina per tahun itu. Persoalan revisi biaya proyek, ternyata bukan hanya menghadang proyek ICA. Proyek Antam yang lain, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Pomalaa Antam juga menghadapi hal serupa. Pengerjaan proyek yang berlokasi dekat Pabrik FeNi III di Pomalaa, Sulawesi Tenggara, juga jadi lamban. Para kontraktor yang sudah memasukkan nilai kontrak menarik lagi proposal mereka karena perlu meninjau ulang harga proyek. Tercatat 18 kontraktor PLTU Pomalaa yang menghitung ulang kebutuhan dana pembangkit berkapasitas 2 x 75 Megawatt ini. "Mereka akan memasukkan proposal lagi Januari," kata Alwin. Padahal, ANTM berharap bisa menyelesaikan proyek PLTU ini guna menekan biaya produksi, dan menghemat biaya pembelian solar. Hitungan awal, proyek ini bakal menelan biaya US$ 300 juta. Antam memiliki 20% saham PLTU ini dan harus menyetor dana proyek US$ 60 juta. Saham sisanya adalah milik para kontraktor. Para kontraktor itu pula harus menanggung sisa kebutuhan dana pembangunan proyek pembangkit listrik atau senilai US$ 240 juta. Selain dua proyek itu, ANTM juga sedang menyiapkan proyek pembangunan pabrik Feronikel IV. Rencana pembangunan pabrik ini muncul setelah BHP Billiton mundur dari joint venture agreement proyek pengembangan tambang nikel di Buli, Halmahera. "Proyek ini masih dalam tahap studi," kata Alwin. Analis Reliance Securities Gina Novrina Nasution melihat, ANTM tidak akan menemui kesulitan jika harus mencari opsi pendanaan baru. Antam adalah produsen nikel yang memiliki fundamental dan berkinerja baik. Lagi pula, sebagai perusahaan plat merah, Antam bisa mengandalkan pinjaman dari bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). "Rasanya tidak mungkin proyek ANTM berhenti karena kesulitan mencari dana," kata Gina.