JAKARTA. Gempa Aceh pada Selasa (2/7/2013) memang hanya bermagnitudo 6,2, tetapi kerusakannya parah. Sebanyak 22 orang tewas, 210 luka-luka, dan ribuan bangunan rusak. Pakar gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan, "Gempa Aceh kemarin berdampak besar karena sumbernya di daratan dan dekat dengan permukaan." Gempa berpusat di 181 kilometer dari Banda Aceh, 35 kilometer barat daya Kabupaten Bener Meriah. Kedalaman gempa dangkal, hanya 10 kilometer. "Karena sumbernya dangkal maka guncangannya sangat terasa dan banyak bangunan roboh," kata Danny saat dihubungi Kompas.com, Rabu (3/7/2013). Gempa Aceh kali ini mengingatkan kembali pada gempa Yogyakarta bermagnitudo 6,5 yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu. Keduanya sama-sama merupakan gempa daratan. Gempa Yogyakarta kala itu dipicu oleh aktivitas di sekitar sesar Opak yang memanjang dari Bantul hingga Prambanan, melewati wilayah permukiman. Saat itu, guncangan gempa terasa selama 57 detik. Akibat gempa yang terjadi pada kedalaman 17 kilometer itu, rumah, bangunan bersejarah, dan fasilitas umum rusak. Ribuan orang tewas. Danny mengungkapkan, kerusakan yang terjadi akibat gempa dapat dipengaruhi oleh lokasi, karakteristik tanah, dan kualitas bangunan. "Gempa Yogyakarta sangat merusak karena sesar yang aktif ada di bawah kawasan permukiman penduduk," kata Danny. "Di Yogyakarta, karakteristik tanahnya juga merupakan endapan vulkanik yang rapuh sehingga mengamplifikasi gempa," imbuh Danny. Semakin lunak karakteristik tanah, semakin besar kemampuan mengamplifikasi gempa. Dengan demikian, guncangan akibat gempa lebih kuat dan potensi merusak lebih besar. "Ditambah dengan bangunan di Yogyakarta yang sangat buruk saat itu maka wajar kalau gempa saat itu sangat merusak," ungkap Danny. Ibnu Rusydy, Peneliti Geo-Hazard Tsunami and Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC)-Unsyiah, mengatakan bahwa pusat gempa Aceh kemarin berada di segmen Aceh. Segmen Aceh adalah bagian dari Patahan Sumatera yang berdasarkan studi Danny dibagi menjadi 19 segmen, antara lain Seulimuem, Semangko, Musi, dan Barumun. Danny mengungkapkan, dengan banyaknya bangunan yang rusak di Aceh, maka ia menduga, "wilayah yang banyak mengalami kerusakan merupakan wilayah yang dilewati sesar yang aktif." Belum diketahui secara pasti karakteristik tanah di lokasi gempa Aceh kemarin. Namun, dengan banyaknya bangunan rusak, bisa dipastikan bahwa kualitas bangunannya masih buruk. Danny mengatakan, di Aceh, gempa memang lebih sering disebabkan oleh aktivitas tektonik di samudera. Namun, gempa daratan tak bisa diremehkan. Menurut Danny, gempa daratan dengan magnitud yang tak begitu besar saja bisa sangat merugikan bila tak diantisipasi. Gempa yang berpusat di samudera memang bisa menimbulkan tsunami, tetapi gempa di daratan juga bisa menimbulkan longsor yang dampaknya tak kalah parah. Contoh nyata dahsyatnya gempa daratan adalah gempa Tahiti bermagnitudo 7 yang menyebabkan ratusan ribu bangunan runtuh dan menewaskan 200.000 jiwa. Ibnu, kepada Kompas.com, kemarin, mengatakan, sejak 1892, telah terjadi gempa daratan dengan getaran mencapai VI MMI di sepanjang sesar Sumatera. Selain itu, ada seismic gap, wilayah yang jarang mengalami gempa, yang perlu diwaspadai. Untuk Aceh, ada tiga segmen yang wajib diwaspadai, yaitu Tripa, Aceh, dan Seulimeum. Tak adanya gempa wajib diwaspadai sebab sewaktu-waktu energi yang tersimpan di segmen itu bisa lepas menimbulkan gempa. Danny mengatakan, di wilayah Toba, terdapat sesar aktif yang sudah selama 100 tahun belum melepaskan energinya. Ada pula seismic gap di wilayah Musi, Sumatera Selatan. Menurut Danny, patahan Sumatera telah dipelajari dan dipetakan secara sistematis. Untuk meminimalkan dampak gempa, diperlukan aplikasi dari hasil studi tersebut. "Bagaimana perencanaan tata ruang didasarkan pada hasil studi itu. Jangan sampai ada rumah apalagi fasilitas publik yang persis ada di atas sesar," katanya. "Untuk penduduk yang rumahnya telanjur ada di sekitar sesar aktif, perlu edukasi sehingga mereka siap," imbuh Danny. Sementara itu, di wilayah Indonesia lain, pemetaan sesar daratan perlu dilakukan sehingga pemerintah daerah memiliki dasar untuk merencanakan tata ruang dengan memperhitungkan risiko gempa. (Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Antara Gempa Aceh Juli 2013 dan Yogyakarta 2006
JAKARTA. Gempa Aceh pada Selasa (2/7/2013) memang hanya bermagnitudo 6,2, tetapi kerusakannya parah. Sebanyak 22 orang tewas, 210 luka-luka, dan ribuan bangunan rusak. Pakar gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaja, mengatakan, "Gempa Aceh kemarin berdampak besar karena sumbernya di daratan dan dekat dengan permukaan." Gempa berpusat di 181 kilometer dari Banda Aceh, 35 kilometer barat daya Kabupaten Bener Meriah. Kedalaman gempa dangkal, hanya 10 kilometer. "Karena sumbernya dangkal maka guncangannya sangat terasa dan banyak bangunan roboh," kata Danny saat dihubungi Kompas.com, Rabu (3/7/2013). Gempa Aceh kali ini mengingatkan kembali pada gempa Yogyakarta bermagnitudo 6,5 yang terjadi pada 27 Mei 2006 lalu. Keduanya sama-sama merupakan gempa daratan. Gempa Yogyakarta kala itu dipicu oleh aktivitas di sekitar sesar Opak yang memanjang dari Bantul hingga Prambanan, melewati wilayah permukiman. Saat itu, guncangan gempa terasa selama 57 detik. Akibat gempa yang terjadi pada kedalaman 17 kilometer itu, rumah, bangunan bersejarah, dan fasilitas umum rusak. Ribuan orang tewas. Danny mengungkapkan, kerusakan yang terjadi akibat gempa dapat dipengaruhi oleh lokasi, karakteristik tanah, dan kualitas bangunan. "Gempa Yogyakarta sangat merusak karena sesar yang aktif ada di bawah kawasan permukiman penduduk," kata Danny. "Di Yogyakarta, karakteristik tanahnya juga merupakan endapan vulkanik yang rapuh sehingga mengamplifikasi gempa," imbuh Danny. Semakin lunak karakteristik tanah, semakin besar kemampuan mengamplifikasi gempa. Dengan demikian, guncangan akibat gempa lebih kuat dan potensi merusak lebih besar. "Ditambah dengan bangunan di Yogyakarta yang sangat buruk saat itu maka wajar kalau gempa saat itu sangat merusak," ungkap Danny. Ibnu Rusydy, Peneliti Geo-Hazard Tsunami and Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC)-Unsyiah, mengatakan bahwa pusat gempa Aceh kemarin berada di segmen Aceh. Segmen Aceh adalah bagian dari Patahan Sumatera yang berdasarkan studi Danny dibagi menjadi 19 segmen, antara lain Seulimuem, Semangko, Musi, dan Barumun. Danny mengungkapkan, dengan banyaknya bangunan yang rusak di Aceh, maka ia menduga, "wilayah yang banyak mengalami kerusakan merupakan wilayah yang dilewati sesar yang aktif." Belum diketahui secara pasti karakteristik tanah di lokasi gempa Aceh kemarin. Namun, dengan banyaknya bangunan rusak, bisa dipastikan bahwa kualitas bangunannya masih buruk. Danny mengatakan, di Aceh, gempa memang lebih sering disebabkan oleh aktivitas tektonik di samudera. Namun, gempa daratan tak bisa diremehkan. Menurut Danny, gempa daratan dengan magnitud yang tak begitu besar saja bisa sangat merugikan bila tak diantisipasi. Gempa yang berpusat di samudera memang bisa menimbulkan tsunami, tetapi gempa di daratan juga bisa menimbulkan longsor yang dampaknya tak kalah parah. Contoh nyata dahsyatnya gempa daratan adalah gempa Tahiti bermagnitudo 7 yang menyebabkan ratusan ribu bangunan runtuh dan menewaskan 200.000 jiwa. Ibnu, kepada Kompas.com, kemarin, mengatakan, sejak 1892, telah terjadi gempa daratan dengan getaran mencapai VI MMI di sepanjang sesar Sumatera. Selain itu, ada seismic gap, wilayah yang jarang mengalami gempa, yang perlu diwaspadai. Untuk Aceh, ada tiga segmen yang wajib diwaspadai, yaitu Tripa, Aceh, dan Seulimeum. Tak adanya gempa wajib diwaspadai sebab sewaktu-waktu energi yang tersimpan di segmen itu bisa lepas menimbulkan gempa. Danny mengatakan, di wilayah Toba, terdapat sesar aktif yang sudah selama 100 tahun belum melepaskan energinya. Ada pula seismic gap di wilayah Musi, Sumatera Selatan. Menurut Danny, patahan Sumatera telah dipelajari dan dipetakan secara sistematis. Untuk meminimalkan dampak gempa, diperlukan aplikasi dari hasil studi tersebut. "Bagaimana perencanaan tata ruang didasarkan pada hasil studi itu. Jangan sampai ada rumah apalagi fasilitas publik yang persis ada di atas sesar," katanya. "Untuk penduduk yang rumahnya telanjur ada di sekitar sesar aktif, perlu edukasi sehingga mereka siap," imbuh Danny. Sementara itu, di wilayah Indonesia lain, pemetaan sesar daratan perlu dilakukan sehingga pemerintah daerah memiliki dasar untuk merencanakan tata ruang dengan memperhitungkan risiko gempa. (Yunanto Wiji Utomo/Kompas.com)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News