Antisipasi dampak perang dagang AS dibawa ke Presiden



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah menteri Kabinet Kerja berkumpul di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menghadiri rapat koordinasi mengenai dampak perang dagang ke Indonesia. Tak seperti biasanya, rapat kali ini digelar hari Minggu sore (8/7).

Tak hanya menteri-menteri ekonomi, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, hadir pula dalam rapat tersebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pariwisata Arief Yahya, hingga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Usai rapat, seluruh menteri sepakat tutup mulut dan menyerahkan pemberian pernyataan ke Darmin. "Sama Pak Menko, sama Pak Menko, kita sudah sepakat," kata Retno Marsudi ramah menjawab pertanyaan media.


Sri Mulyani, yang keluar lift bersamaan dengan Retno pun enggan berkomentar, hanya melempar senyum ramah.

Sementara Enggarstiasto Lukita mengaku, rakor tersebut membahas mengenai ekspor dan impor serta persiapan rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Senin (9/7).

"Persiapan bahan, kan kita menyiapkan apa. Kementerian lain menyiapkan apa. Itu nanti Pak Menko jelaskan. Semuanya Menko, dilarang mendahului," tukasnya

Sekitar pukul 19.45 WIB, Darmin turun dari ruangannya dan dihadang pertanyaan awak media. Darmin hanya menyebut, rapat tersebut telah membahas kepentingan beberapa kementerian yang langsung terkait dengan ancaman perdagangan Indonesia, termasuk antisipsinya.

Sayangnya, Darmin juga enggan membocorkan hal itu. "Saya belum mau komentar dulu urusan itu," tandasnya.

Dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS-China) mulai berdentum pada Jumat (6/8) lalu, AS telah menerapkan tarif baru terhadap impor China senilai US$ 23 miliar yang memicu Negeri Tirai Bambu tersebut memberi respon serupa dengan memberlakukan tarif 545 produk impor AS. Nilainya sama, yaitu sebesar US$ 34 miliar.

Kondisi semakin memanas setelah AS dikabarkan tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor asal Indonesia, termasuk tekstil, plywood, kapas ,dan beberapa hasil perikanan seperti udang dan kepiting. Evaluasi itu dilakukan guna menentukan produk apa saja yang masih layak menerima generalized system of preferences (GSP).

GSP sendiri merupakan kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Jika GSP ini dihilangkan, maka bea masuk terhadap produk Indonesia ke AS, menjadi lebih mahal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia