KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga sejumlah komoditas pangan yang naik jadi sorotan. Tercatat, sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan. Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan per 2 Juni 2022, harga kedelai impor Rp 14.100 per kilogram. Harga ini meningkat dibandingkan pertengahan pekan lalu (25 Mei) yakni Rp 13.500 per kilogram. Lalu, harga tepung terigu Rp 11.600 per kilogram dari yang sebelumnya Rp 11.200 per kilogram, harga telur ayam ras Rp 28.800 per kilogram dari yang sebelumnya Rp 27.100 per kilogram.
Selain itu, harga cabe rawit merah Rp 64.300 per kilogram dari yang sebelumnya Rp 47.600 per kilogram, harga bawang merah Rp 42.600 per kilogram dari yang sebelumnya Rp 36.700 per kilogram. Anggota Komisi VI DPR Amin Ak mengatakan, pihaknya telah memperingatkan potensi kenaikan harga pangan kepada pemerintah sejak akhir tahun 2021 lalu. Namun sayangnya, respons pemerintah terlalu lamban dan setiap kementerian/lembaga bergerak parsial tanpa koordinasi dengan baik. Menurut Amin, penyebab lonjakan harga pangan saat ini utamanya karena dua hal. Yakni lonjakan harga pangan global dan belum pulihnya lini produksi berbagai komoditas pangan setelah pandemi Covid-19. “Kedua hal tersebut berdampak pada terganggunya ketersediaan (stok) pangan nasional yang dampak berikutnya sudah pasti terjadi kenaikan harga,” ucap Amin kepada Kontan.co.id, Kamis (2/6).
Baca Juga: Jokowi Ingin Memperluas Budidaya Sorgum untuk Hadapi Ancaman Krisis Pangan Amin menilai, terganggunya produksi dan pasokan pangan juga terjadi di negara-negara produsen komoditas pangan, dimana ketergantungan Indonesia terhadap impor cukup tinggi. Misalnya, pangan berbasis gandum seperti terigu, dimana harga global naik karena produsen utama menahan hasil produksinya untuk ekspor seperti dilakukan India. "Perubahan iklim, belum pulihnya ekonomi akibat pandemi, hingga perang Rusia – Ukraina ikut memicu gangguan produksi dan harga pangan global," terang Amin. Sedangkan lini produksi komoditas pangan di dalam negeri juga terganggu akibat input produksinya yang berasal dari impor mengalami lonjakan harga seperti pupuk dan pakan ternak (ayam pedaging maupun petelur). Akibatnya sejumlah komoditas yang input produksinya tergantung impor mengalami lonjakan harga seperti telur dan daging ayam. Amin menyarankan solusi jangka pendek antara lain dilakukan dengan pemberian subsidi kepada kelompok sasaran. Khususnya kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menengah rentan (nyaris) rendah. Indonesia bisa meningkatkan pajak ekspor terhadap komoditas unggulan seperti hasil tambang, CPO, dan lain-lain untuk memperoleh tambahan dana subsidi. “Solusi jangka panjang dengan memperkuat stok pangan nasional,” ungkap Amin. Amin menyatakan, Badan Pangan Nasional, Bulog, dan instrumen lainnya harus didorong sekuat tenaga dalam penguatan stok, sehingga bisa digunakan untuk stabilisasi stok dan harga pangan nasional. Sebagai contoh, saat ini Bulog harus menggenjot serapan gabah petani agar punya stok beras dalam jumlah besar. Pemerintah juga harus lebih serius meminimalisir ketergantungan impor pada komoditas pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri. Tepung misalnya, industri tepung berbasis lokal harus digenjot dari sekarang untuk mengurangi ketergantungan impor. “Demikian juga dengan kedelai, jagung, bawang, gula, dan lain-lain. Demikian juga input produksi seperti halnya pupuk dan pakan ternak,” kata Amin.
Baca Juga: Ini Komoditas Penyumbang Inflasi Terbesar Bulan Mei 2022 Dihubungi secara terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, yang menjadi problem persoalan pangan adalah adanya kenaikan biaya produksi pangan seperti input produksi dari pupuk. Kemudian tantangan kedua selain dari faktor biaya produksi adalah proteksionisme yang dilakukan banyak negara. misalnya India dengan gandum dan gula, Ukraina dengan gandum, disusul dengan negara lain yang menjadi sumber penting pangan bagi Indonesia. “Proteksionisme sangat mengganggu, kemudian disrupsi rantai pasok dan di dalam negeri ada faktor fundamental yaitu masalah rantai distribusi nya terlalu panjang,” ungkap Bhima. Bhima mencontohkan minyak goreng curah sulit turun harga karena rantai distribusinya terlalu panjang yang bisa melibatkan lima sampai tujuh titik rantai distribusi. Selain itu infrastruktur pangan antara wilayah jawa dan luar jawa terjadi disparitas harga pangan yang masih tinggi. “Jadi biaya logistik kita masih 23,5% dari PDB itu berpengaruh juga,” ucap Bhima. Bhima mengatakan, untuk mengamankan pasokan pemerintah harus melakukan sejumlah hal. Pertama subsidi pupuk harus jelas ditambah, ketersediaan dan keterjangkauan untuk pembelian subsidi pupuk harus merata di wilayah Jawa dan luar jawa. Kedua, mendorong kredit usaha rakyat bidang pertanian porsinya harus lebih besar dari total penyaluran KUR. Ketiga, mempercepat pembangunan infrastruktur pangan. Kemudian bisa mendorong pangan lokal alternatif sebagai subsitusi impor. Lalu, memotong rantai distribusi, khususnya masalah minyak goreng curah yang juga terjadi di beberapa komoditas. “Ini mau ngga mau keterlibatan Bulog untuk memangkas rantai distribusi biar lebih pendek. Khususnya untuk barang-barang yang disubsidi pemerintah,” ujar Bhima.
Selanjutnya, untuk 40% masyarakat kelas bawah mesti dibantu dengan bantuan kebutuhan pokok tunai dan/atau bantuan pangan non tunai. “Intinya adalah jangan sampai inflasi pangan yang persisten terjadi bisa membuat angka kemiskinan meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat pendapatan menengah bawah,” imbuh Bhima.
Baca Juga: BPS: Kenaikan Harga Pangan Masih Terlihat di Level Perdagangan Besar Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat