KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Situasi perekonomian global boleh jadi bernafas lebih lega pasca Amerika Serikat (AS) dan China mencapai kesepakatan menahan perang dagang di awal tahun depan. Namun, potensi ketidakpastian dinilai masih akan muncul dan menjadi isu perekonomian global di tahun depan sehingga tetap diperlukan antisipasi untuk menghadapinya. Hal tersebut disampaikan Sri Mulyani sepulangnya dari KTT G20 dalam forum CEO Networking, Senin (3/12). Di hadapan ratusan petinggi perusahaan nasional, ia menyatakan pemerintah tetap akan melakukan langkah-langkah antisipatif di tengah meredanya gejolak perekonomian global untuk sementara waktu ini.
"Kita harus memanfaatkan, tapi juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya downside risk dari ketidakpastian ini. Karena kepastian itu sifatnya hanya temporer 90 hari. ," ujar Sri Mulyani, Senin (3/12). Ia menjelaskan, sejauh ini permintaan domestik masih terjaga cukup baik sehingga mampu menjadi penahan risiko ketidakpastian ekonomi di dalam negeri. Permintaan domestik tersebut meliputi konsumsi, investasi, hingga belanja pemerintah yang masih mengalami pertumbuhan positif. "Kita perlu menjamin domestic demand cukup kuat dan resilient di tengah faktor ekstenral yang meningkat risikonya," pungkasnya. Di sisi lain, Sri Mulyani juga memperingatkan soal harga komoditas yang tengah mengalami penurunan. Menurutnya, pelemahan harga komoditas akan menjadi salah satu tantangan utama pengusaha di tahun 2019 lantaran permintaan pun diproyeksi menurun sejalan dengan pertumbuhan ekonomi global yang stagnan. "Kemarin mungkin (pengusaha) khawatir dengan nilai tukar, sekarang akan berhadapan dengan demand side karena perekonomian secara global juga mengalami penurunan," katanya. Adapun, ia memastikan, pemerintah akan berupaya menjaga kestabilan perekonomian baik dari sisi fiskal maupun moneter. Di sisi fiskal, Sri Mulyani menyatakan APBN 2018 dengan defisitnya yang diproyeksi lebih rendah dapat menjadi ancang-ancang yang positif dalam menyongsong ketidakpastian ekonomi di tahun 2019.
"Target APBN 2019, defisit anggaran 1,8% dari PDB dan belanja lebih dari Rp 2.400 triliun. Ini akan cukup untuk memberi stimulasi, di samping insentif melalui kebijakan pajak yang telah dikeluarkan," ucapnya. Instrumen fiskal, menurut Sri Mulyani, juga ditujukan untuk menciptakan daya tarik investasi dalam rangka mendorong ekspor dan mensubstitusi impor. Di antaranya, kebijakan tax holiday dan kemudahan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN). "Kami juga berusaha memperbaiki ease of doing business, memperbaiki iklim investasi melalui OSS sehingga prosedur dipermudah dan kriteria disederhanakan, serta melakukan penetrasi ke pasar-pasar baru yang nontradisional untuk ekspansi ekspor," ujar Sri Mulyani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto