Anton berdayakan warga desa dengan reklamasi lahan



Sejak tahun 2009, Anton Abdul Fatah memberdayakan warga Desa Sindang Sari, Garut, Jawa Barat untuk melakukan reklamasi lahan. Kondisi lahan di desa itu rusak akibat aktivitas usaha pembuatan batu bata.

Prihatin melihat kerusakan lahan di kampung halaman, Anton Abdul Fatah gigih memberdayakan warga desanya untuk melakukan reklamasi lahan. Upaya itu sudah dilakukannya sejak tahun 2009 di Desa Sindang Sari, Garut, Jawa Barat.

Kerusakan lahan itu terjadi karena banyak warga menyewakan lahan kepada pengusaha properti. Bukan dipakai buat membangun kompleks perumahan atau perkantoran, lahan itu dipakai sebagai tempat usaha pembuatan bata merah.


"Para pengusaha properti itu mengeruk tidak tanggung-tanggung, mulai dari satu meter sampai lima meter ke bawah," ujar Anton.

Akibatnya, lahan di desanya menjadi rusak dan tak bisa dimanfaatkan lagi oleh warga. Pengerukan lahan itu sendiri sudah terjadi sejak tahun 2000-an.

Selain merusak lahan, pengusaha juga mengeruk keuntungan besar dari sewa lahan itu. Hanya dengan sewa Rp 70.000 per 14 meter persegi per tahun, mereka bisa menghasilkan batu bata dalam jumlah banyak.

Sementara warga sendiri sudah cukup senang dibayar Rp 3 juta-Rp 5 juta per tahun untuk biaya sewa lahan kosong yang mereka miliki.

Namun, warga tak sadar bahwa kegiatan pembuatan bata merah itu telah merusak tanah mereka. Padahal, mayoritas warga Desa Sindang Sari berprofesi sebagai petani.

Lantaran banyak tanah yang tergerus, hasil tanaman pun menjadi tak bagus. "Tanah yang subur itu kan yang berada di lapisan atas, namun di desa saya banyak yang sudah diambil untuk batu bata," ujar Anton.

Prihatin melihat kondisi itu, pada 2009 Anton pun mengajak warga memperbaiki kerusakan tersebut. Dari informasi yang didapatnya, metode yang paling tepat untuk memulihkan kondisi tanah di desanya adalah metode agroforestry. Metode ini dikenal dengan sistem tumpang sari di Indonesia.

Metode ini dapat mengatasi masalah degradasi kesuburan tanah dan erosi sedimen lahan. Ia juga berdiskusi dengan para petani di desanya untuk mengaplikasikan metode tersebut.

Agroforestry artinya menanami lahan dengan tanaman yang mampu mengikat nitrogen (agro), seperti kacang tanah, jagung, dan ubi. Selain itu, bisa juga dengan menanam pohon keras sehingga bisa mengeraskan tanah.

Saat reklamasi ini, tanah juga perlu diinjeksi dengan pupuk kompos. Anton pun memberi edukasi kepada warga untuk membuat pupuk kompos sendiri agar biayanya lebih murah.

Ia juga mengajak warga berinvestasi dengan menanam pohon. Untuk itu, ia membagikan bibit pohon albasia secara gratis. Ia meminta warga menanam pohon itu. "Saya mengedukasi petani bahwa menanam pohon bisa menjadi alternatif lain selain menyewakan lahan," ujar Anton.

Ia berjanji akan membeli pohon albasia itu dengan harga Rp 300.000 per batang saat sudah berusia lima tahun. Kebetulan, keluarga Anton bergerak di usaha jual beli kayu dan material.

Saat ini, Anton telah membagikan 4.000 pohon. Tahun ini, ia akan membagikan 30.000 bibit pohon lagi.

Menurutnya, tak masalah jika petani menanam pohon albasia bukan dari dia. "Yang penting sama-sama menyuburkan lahan," ujarnya.

Saat ini, warga desanya pun sudah kembali bertani karena lahan sudah mulai lebih baik meski belum sesubur puluhan tahun lalu.

Atas upayanya ini, ia memperoleh berbagai penghargaan. Salah satunya dari British Council dalam kompetisi E-Idea.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi