Anton Gunawan, Kepala Ekonom Bank Mandiri: Kurang insentif untuk devisa ekspor



BI dan pemerintah terus memutar otak untuk menjaga cadev sekaligus nilai tukar rupiah. Menyedot DHE ke tanah air jadi salah satu cara BI dan pemerintah untuk mengisi pundi cadev.

Sejatinya, sebanyak 80%–81% DHE sudah masuk ke perbankan dalam negeri, tapi baru 15% yang dikonversikan ke rupiah.

Untuk itu, bank sentral akan mendorong konversi devisa ekspor ke mata uang garuda lewat instrumen swap. Ini adalah transaksi pertukaran valuta asing (valas) melalui pembelian tunai dengan penjualan  kembali secara berjangka.


Agar eksportir mau melakukan konversi, BI akan memberikan harga menarik dalam lelang valas dengan fasilitas swap. Saat ini, harga swap berkisar 5%–6%. Bank sentral berencana menurunkan tarifnya.

Seberapa besar peran DHE dalam mendongkrak cadev? Apakah langkah BI sudah tepat? Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menyampaikan pandangannya kepada wartawan Tabloid KONTAN Nina Dwiantika, Rabu (8/8).

Berikut nukilannya:

KONTAN: Memang, berapa besar potensi DHE? ANTON: DHE bukan satu-satunya sumber devisa negara. Dalam kerangka defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD), ada komponen neraca perdagangan, yang berarti ekspor barang dikurangi impor barang, jasa, primary income, dan secondary income seperti remitansi dari tenaga kerja Indonesia (TKI).

Belum lagi, dari neraca modal atau financial and capital account yang terdiri dari penanaman modal asing atawa forent direct investment (FDI), portofolio, dan investasi lainnya.

Ujungnya, semua ini masuk ke dalam neraca pembayaran atau balance of payment yang terkait dengan cadangan devisa kita.

KONTAN: Apakah dollar AS dari eksportir benar-benar bisa mengisi cadev? ANTON: Ada supply dan demand valas. Dari sisi permintaan, ada demand dari importir, capital outflow, pemerintah bayar utang, dan BI beli dollar AS.

Sedang pemasok valas adalah eksportir, investor, capital inflow, dan BI suplai dollar AS ke cadanga devisa

Eksportir memang punya dolar AS tapi belum tentu jadi supplier di pasar. Eksportir menerima devisa dari hasil ekspor tetapi selama ini mereka tidak menanam di sini.

Ke mana DHE ini? Apakah disimpan di luar negeri atau di dalam negeri? Kalau disimpan di dalam negeri, apakah eksportir mau dikonversi ke rupiah.  

Perlu diingat, konversi itu ada dua. Ketika eksportir konversi DHE ke rupiah di pasar, maka rupiah akan menguat. Sementara jika eksportir konversi DHE ke BI, akan memperkuat cadangan devisa

KONTAN: Kenapa DHE yang dikonversi masih kecil? ANTON:  Pertama, kurang insentif atas DHE yang masuk ke dalam negeri. Apalagi, Peraturan BI (PBI) Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri serta PBI 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah hanya mendisiplinkan DHE dilaporkan ke bank devisa di Indonesia.

Kedua, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tidak ada kewajiban bagi eskportir untuk mengonversi DHE ke dalam rupiah.

Sejauh ini, akan sulit jika melakukan revisi pada UU Lalu Lintas Devisa karena butuh waktu panjang, meskipun bisa melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Tapi, ini perlu administrasi yang tepat. Hanya lagi-lagi, ada kekhawatiran jika rezim devisa bebas dihapuskan akan menimbulkan capital control. Di sini, investor akan takut tidak bisa menarik uangnya secara cepat dan bebas.

Indonesia memang berbeda dengan Malaysia. Di negeri jiran, eksportir wajib melakukan konversi DHE ke ringgit sebanyak 75%.

Kemudian, eksportir melakukan pelaporan DHE langsung ke Bank Negara Malaysia (BNM), walau DHE masuk ke perbankan lokal.

KONTAN: Kalau begitu, BI perlu melakukan apa agar eksportir mau melakukan konversi DHE ke rupiah? ANTON: BI memiliki fasilitas swap, di mana eksportir bisa menjual valas mereka untuk dibeli kembali pada periode yang telah disepakati.

Saat ini, harga untuk swap tersebut sekitar 5%–6% yang terbilang cukup mahal. Nah, ini menjadi celah bagi BI untuk menarik DHE dengan cara menurunkan harga swap di bawah harga itu.

Jika eksportir melakukan swap ke BI, valas yang masuk akan langsung menjadi devisa.

KONTAN: Lalu, strategi BI menyerap dana valas melalui penerbitan SBI 9 bulan dan 12 bulan sudah tepat? ANTON: BI sudah banyak mengeluarkan amunisi, mulai kenaikan suku bunga acuan hingga instrumen lain. Yang terakhir, BI mengaktifkan kembali SBI jangka waktu 9 bulan dan 12 bulan untuk menarik dana asing.

Sebenarnya, yang dicari investor asing adalah SBI tenor 1 bulan dan 3 bulan.

Perlu diingat, dana yang masuk ke SBI adalah hot money yang gampang masuk dan keluar. Sebetulnya, BI tidak ingin terjadi hal tersebut.

Tapi, apa boleh buat, bank sentral sepertinya ingin dana-dana valas masuk saja terlebih dahulu walaupun hanya sebentar.

KONTAN: Masalahnya, cadev kita terus tergerus? ANTON: Ya, sejak Januari hingga Juli 2018, cadev sudah terpangkas sekitar US$ 13 miliar, dengan posisi terakhir US$ 118,3 miliar dari US$ 131,98 miliar per Januari lalu. Artinya, penurunan cadev mendekati US$ 2 miliar tiap bulan.

Jika terus susut rata-rata US$ 2 miliar per bulan, maka cadev hanya bertahan selama sembilan bulan ke depan. Setidaknya, cadev perlu dijaga minimal US$ 100 miliar, tidak boleh di bawah itu. Tentunya, ini terkait dengan citra negara kita.

KONTAN: Selain DHE, apa yang bisa mendorong cadev naik atau turun? ANTON: Ada beberapa komponen yang bisa meningkatkan cadev. Misalnya, pemerintah menjual obligasi global atau global bonds ke luar negeri, sehingga ada pendapatan valas yang masuk.

Lalu, ada penerimaan minyak bagian pemerintah yang berasal dari PT Pertamina, kontraktor bagi hasil, dan kontrak kerjasama lain.

Ada satu lagi yang bisa mengerek cadev, yakni penempatan dana valas perbankan di term deposit (TD) valas. Terakhir, yang dapat menambah cadev adalah BI membeli dollar AS ketika rupiah melemah.

Sebaliknya, cadev bisa turun jika pemerintah bayar utang luar negeri, seperti global bonds dan BI jual dollar AS di pasar untuk melakukan intervensi.

KONTAN: Jadi, DHE bukan sumber utama cadev? ANTON: Sebenarnya, cadev tidak terlalu bergantung pada eksportir secara langsung. Misalnya, eksportir dapat dollar AS banyak, bukan berarti cadev  bisa naik.

Soalnya, selama ini eksportir menempatkan DHE di bank. Tapi, kalau kemudian bank tidak menempatkan dana itu di BI dan memilih menempatkan dana di bank bank koresponden di luar negeri (nostro), maka tidak akan ada dollar AS masuk ke cadev.

KONTAN: Apa yang perlu bank lakukan untuk menjaring DHE kemudian menempatkan dana tersebut di BI? ANTON: Bank harus membuat spesifik akun. Saat ini, DHE yang masuk ke perbankan belum tertata dengan rapi. Perbankan di Indonesia tidak memiliki spesifikasi akun untuk DHE. Alhasil, DHE tercampur dengan dana yang lain.

Seharusnya, agar termonitor dengan baik, DHE perlu mendapatkan akun sendiri di perbankan. BI sendiri, kan, bilang, jika DHE dan dana perusahaan campur aduk, maka tidak bisa terpantau seberapa besar DHE yang masuk ke sini.

Padahal, dalam urusan DHE yang disimpan di bank sudah ada insentif berupa pajak deposito valas yang dihapuskan atau dikurangi.

Tapi, insentif ini tidak efektif karena enggak ada data yang konkrit soal berapa porsi dana dari DHE atau dana di luar itu. Padahal, cara ini disinyalir akan menarik eksportir untuk menempatkan DHE di perbankan dalam negeri.

KONTAN: Bagaimana biar DHE betah berada di perbankan dalam negeri? ANTON: Pertama, harus ada perbaikan pelaporan data DHE, yakni perlu ada catatan khusus untuk penempatan dana tersebut di perbankan.

Kedua, opsi menempatkan dana di perbankan dalam negeri dengan insentif yang menarik. Insentif ini bisa berupa pembebasan pajak deposito valas ataupun tarif pajak yang lebih rendah.

Ketiga, opsi konversi DHE yang berupa valas ke rupiah dengan harga swap yang lebih rendah.

Sekali lagi, opsi-opsi ini adalah pilihan bagi eksportir yang tidak bersifat memaksa. Jadi, opsi tersebut terbilang tidak melanggar rezim devisa bebas.

Saya juga mengusulkan agar tidak mengubah UU soal rezim devisa bebas yang sudah ada karena kembali lagi, khawatir atas capital control.

KONTAN: Jika insentif itu berlaku, seberapa besar DHE yang akan masuk dan dikonversikan ke rupiah? ANTON: Kembali lagi, administrasi dibenahi terlebih dahulu. Sebab, dengan pembenahan administrasi, maka para eksportir tidak segan menempatkan dana di perbankan dalam negeri.

Meskipun, eksportir pasti masih membutuhkan dana valas untuk memenuhi kebutuhan impor bahan baku ataupun mencukupi pembayaran kewajiban mereka.

Setelah itu, pemerintah juga harus terus mendorong ekspor lebih cepat. Tujuannya, agar DHE yang masuk akan semakin besar. Selanjutnya, BI mesti dengan cepat memberlakukan penerapan insentif ini.           

◆ Biodata

Riwayat pendidikan: ■     Master of Philosophy Bidang Ekonomi dari Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat (AS). ■     Master of Arts Bidang Ekonomi dari Universitas Chicago, AS. ■     Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI)

Riwayat pekerjaan: ■     Kepala Ekonom Bank Mandiri ■     Komisaris Utama PT Mandiri Manajemen Investasi ■     Penasihat Pengembangan Keuangan Senior Kemitraan Australia-Indonesia untuk Tata Kelola Ekonomi (AIPEG)     ■     Komisaris Independen Bank Mandiri ■     Ketua Komite Pemantau Risiko dan Komite Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bank Mandiri ■     Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Eksekutif Bank Danamon ■     Ekonom Citibank Indonesia   ■     Direktur Riset di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.    

** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 13 Agustus - 19 Agustus 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kurang Insentif untuk Devisa Ekspor"

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga