KONTAN.CO.ID - Sejak diimplementasikan per 1 Januari 2020 kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) terus mendapat sambutan positif. Hingga akhir Januari 2020 Bank Indonesia (BI) mencatat ada 2,6 juta pelaku UMKM yang telah mengadopsi standar pembayaran menggunakan QR code tersebut. Tingkat penetrasi QRIS diyakini akan semakin meluas didukung oleh tren digitalisasi pembayaran yang kian marak.Tidak dapat dimungkiri eksistensi pemain teknologi finansial, seperti Ovo, Gopay, Dana dan LinkAja turut mengubah preferensi konsumen dalam bertransaksi. Bagi sebagian masyarakat urban, keberadaan uang elektronik berbasis server di gawai cerdas telah menggantikan fungsi uang kartal di dompet. Faktor kenyamanan dan keamanan bagi pedagang juga tidak kalah penting. Pedagang tidak perlu repot menyediakan uang kembalian. Risiko uang palsu maupun kehilangan uang tunai juga termitigasi dengan baik. Bahkan pedagang bakal mendapat profil kredit positif di mata perbankan. Praktis pedagang berpeluang mengakses modal kerja lebih besar. Data statistik sistem pembayaran yang dirilis BI seakan mengkonfirmasi fenomena ini. Porsi transaksi ritel uang elektronik melesat dari 9,8% pada 2015 menjadi 40,7% pada 2019. Pada saat yang bersamaan porsi non bank juga melonjak dari 1,5% menjadi 24,7%.Walaupun menjanjikan banyak keunggulan, bukan berarti perkembangan QRIS tidak menemui jalan terjal. Mencermati diskursus yang tengah berkembang, isu Merchant Discount Rate (MDR) atau biaya potongan yang ditanggung oleh pedagang kembali menjadi topik bahasan.Menjaga keseimbangan Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia menyepakati tarif MDR QRIS sebesar 0,7% untuk transaksi reguler, baik on us (dalam satu jaringan) dan off us (antar jaringan). Sejumlah kalangan menyebut tarif tersebut cukup tinggi dan memberatkan pedangang usaha mikro dan kecil. Benarkah?Secara prinsip, penentuan tarif MDR bisa digambarkan seperti menjaga keseimbangan kedua tuas timbangan agar tidak berat sebelah. Tarif tidak boleh ditetapkan terlalu rendah sehingga penyelenggara tetap memperoleh pendapatan yang wajar dan termotivasi untuk berekspansi usaha.Tarif juga dijaga agar tidak terlalu tinggi agar pedagang tidak beralih ke transaksi tunai. Kedua belah pihak harus sama-sama diuntungkan demi mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dan inklusi keuangan.Terkait dengan persepsi tarif MDR yang belum ramah UMKM, setidaknya ada tiga hal fundamental yang harus dipahami untuk melihatnya secara komprehensif. Pertama, narasi yang paling sering digunakan ialah perbandingan tarif MDR untuk kartu debit on us sebesar 0,15%.
Apa Kabar Penerapan QRIS?
KONTAN.CO.ID - Sejak diimplementasikan per 1 Januari 2020 kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) terus mendapat sambutan positif. Hingga akhir Januari 2020 Bank Indonesia (BI) mencatat ada 2,6 juta pelaku UMKM yang telah mengadopsi standar pembayaran menggunakan QR code tersebut. Tingkat penetrasi QRIS diyakini akan semakin meluas didukung oleh tren digitalisasi pembayaran yang kian marak.Tidak dapat dimungkiri eksistensi pemain teknologi finansial, seperti Ovo, Gopay, Dana dan LinkAja turut mengubah preferensi konsumen dalam bertransaksi. Bagi sebagian masyarakat urban, keberadaan uang elektronik berbasis server di gawai cerdas telah menggantikan fungsi uang kartal di dompet. Faktor kenyamanan dan keamanan bagi pedagang juga tidak kalah penting. Pedagang tidak perlu repot menyediakan uang kembalian. Risiko uang palsu maupun kehilangan uang tunai juga termitigasi dengan baik. Bahkan pedagang bakal mendapat profil kredit positif di mata perbankan. Praktis pedagang berpeluang mengakses modal kerja lebih besar. Data statistik sistem pembayaran yang dirilis BI seakan mengkonfirmasi fenomena ini. Porsi transaksi ritel uang elektronik melesat dari 9,8% pada 2015 menjadi 40,7% pada 2019. Pada saat yang bersamaan porsi non bank juga melonjak dari 1,5% menjadi 24,7%.Walaupun menjanjikan banyak keunggulan, bukan berarti perkembangan QRIS tidak menemui jalan terjal. Mencermati diskursus yang tengah berkembang, isu Merchant Discount Rate (MDR) atau biaya potongan yang ditanggung oleh pedagang kembali menjadi topik bahasan.Menjaga keseimbangan Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia menyepakati tarif MDR QRIS sebesar 0,7% untuk transaksi reguler, baik on us (dalam satu jaringan) dan off us (antar jaringan). Sejumlah kalangan menyebut tarif tersebut cukup tinggi dan memberatkan pedangang usaha mikro dan kecil. Benarkah?Secara prinsip, penentuan tarif MDR bisa digambarkan seperti menjaga keseimbangan kedua tuas timbangan agar tidak berat sebelah. Tarif tidak boleh ditetapkan terlalu rendah sehingga penyelenggara tetap memperoleh pendapatan yang wajar dan termotivasi untuk berekspansi usaha.Tarif juga dijaga agar tidak terlalu tinggi agar pedagang tidak beralih ke transaksi tunai. Kedua belah pihak harus sama-sama diuntungkan demi mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) dan inklusi keuangan.Terkait dengan persepsi tarif MDR yang belum ramah UMKM, setidaknya ada tiga hal fundamental yang harus dipahami untuk melihatnya secara komprehensif. Pertama, narasi yang paling sering digunakan ialah perbandingan tarif MDR untuk kartu debit on us sebesar 0,15%.