KONTAN.CO.ID - Jaringan kedai kopi global, Starbucks, mengumumkan bahwa
6.000 kedai mereka sudah ramah lingkungan. Selain menjaga lingkungan dan keberlanjutan bumi, Starbucks berhasil mendapatkan dana senilai US$60 juta dari efisiensi penerapan aktivitas ekonomi hijau tersebut. Dengan sertifikasi kafe yang ramah lingkungan, Starbucks turut berkontribusi dalam pemenuhan standar delapan bidang dampak lingkungan yang dikembangkan melalui kemitraan dengan World Wildlife Fund (WWF) dan Layanan Global SCS yakni pengelolaan air, efisiensi energi, pengalihan limbah, energi terbarukan, material yang bertanggung jawab, keterlibatan, lokasi, masyarakat, kesehatan, dan kesejahteraan. Efisiensi energi oleh Starbucks itu sebenarnya hanya satu dari banyak perilaku baik dari pelaku bisnis yang menerapkan aktivitas ekonomi hijau. Namun, sebelum penerapan aktivitas ramah lingkungan itu berjalan, mereka membutuhkan serangkaian proses untuk meningkatkan fasilitas dan kapasitas SDM agar keberlanjutan di lingkungan perusahaan berjalan optimal.
Akan tetapi, proses inilah yang menjadi tantangan pelaku bisnis, contohnya akses pendanaan untuk membuat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atau pendanaan untuk konversi mesin yang hemat energi dan ramah lingkungan. Pelaku usaha bisa mendapat akses pembiayaan tersebut dari pemerintah. Sulit dipungkiri, hampir semua sektor membutuhkan pembiayaan menuju ekonomi hijau. Di sinilah peran dari pemerintah, yang memiliki fungsi alokasi anggaran. Sebab bagaimanapun, mesin dari aktivitas ekonomi hijau adalah pelaku usaha. Untuk itu, harus ada peran dari pemerintah melalui pendanaan APBN, APBD, atau lewat sistem pembiayaan lainnya. Pelaku bisnis penting juga untuk mengetahui sejauh mana pemerintah mengalokasikan uang kasnya untuk proyek transisi ke aktivitas ekonomi hijau. Di sektor energi misalnya, ada proyek bauran energi ke energi berkelanjutan. Kemudian dari sektor transportasi, sudah ada mekanisme APBN berupa pemberian subsidi untuk kendaraan listrik sebagai bagian dari usaha mendorong ekonomi hijau. Namun kabar ini tentu belum cukup, karena masih ada banyak alat transportasi lainnya yang belum menerapkan prinsip ekonomi hijau. Dari sektor manufaktur juga penting. Bagaimana APBN memiliki peran dalam penggunaan teknologi dan mesin ramah lingkungan. Begitu juga dari aktivitas ekonomi sirkular, bagaimana APBN mendorong aktivitas ini. Hal ini juga berlaku bagi aktivitas pertanian, perkebunan, kehutanan, dan juga sektor maritim yang memiliki peluang dalam ekonomi biru yang selama ini berperan menjadi penggerak ekonomi di Indonesia. Contoh terbaik untuk mengadopsi transisi ekonomi hijau dan biru ini adalah Norwegia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa menceritakan praktik baik pengembangan ekonomi biru di Norwegia. “Norwegia itu persentase dari ekonomi birunya adalah 20% dari GDP-nya (Gross Domestic Product) dan mempekerjakan 11 persen dari total tenaga kerja,” ujar Suharso pada Desember 2023 lalu. Saat berkunjung ke Norwegia, Suharso melihat banyak nelayan memiliki kemampuan mengolah ikan yang baik karena didukung riset yang kuat dari berbagai universitas. Hal ini juga tidak lepas dari peran Pemerintah Norwegia yang turut memberikan dana penelitian yang cukup besar, sehingga berguna untuk keberlanjutan industri kemaritiman.
Salah satu bentuk keberhasilan Norwegia yaitu mampu membudidaya ikan salmon yang bertumpu pada penelitian intensif. Kemudian, hasil riset tersebut dibagikan secara luas agar diadopsi oleh pembudidaya lokal. Hingga kini, langkah tersebut berhasil meningkatkan volume produksi dan menurunkan biaya produksi. Dengan berbagai potensi yang besar, sudah sejauh mana APBN memberikan peran bagi pelaku usaha untuk melakukan transisi ke ekonomi hijau dan ekonomi biru ini? Apakah ada suatu sistem atau cara untuk mendapat pembiayaan dari pemerintah? Temukan jawabannya dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan Kontan dan Kementerian Kauangan yang bertajuk Peran APBN Dalam Mewujudkan Ekonomi Hijau dan Biru di Hotel Sofyan, Cikini, Jakarta Pusat, pada Rabu, 27 Maret 2024. Acara tersebut akan diisi oleh Kepala Pusat Pembiayaan Iklim BKF Boby Wahyu Hernawan S.E., M.Com., DBA., Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) Dr. Joko Tri Haryanti, S.E., M.S.E, Kepala Kajian Grup Penelitian Ekonomi Lingkungan LPEM UI Dr. Alin Halimatussadiah, dan dipandu oleh Redaktur Kontan Asnil Bambani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal