Eskalasi ketegangan di semenanjung Korea semakin meningkat. Setelah mendatangkan pesawat pembom dan tempur siluman, serta kapal perang, kini Amerika Serikat (AS) kembali mendatangkan senjata canggihnya. AS mendatangkan kapal radar Sea Based X-Band Radar atau SBX-1. Kapal radar raksasa yang bentuknya seperti anjungan minyak lepas pantai itu diparkir di lepas pantai Jepang. SBX-1 adalah radar dengan jangkauan sangat jauh dan kuat. SBX-1 mampu melacak misil balistik yang terbang dari hampir separuh bumi. Dengan kemampuan ini, AS bisa langsung mengetahui jika Korea Utara meluncurkan rudal balistiknya dan mengirim perintah kepada rudal pencegat untuk menghancurkan rudal balistik itu di udara. Dengan ketegangan yang semakin meningkat, banyak pihak khawatir ini akan memicu perang terbuka. Cuma, masih banyak pihak yang menilai, tidak akan terjadi perang di semenanjung di Korea, apalagi perang nuklir. Ada beberapa alasan, banyak pihak meragukan perang akan pecah: 1. Tidak ada mobilisasi Lazimnya, jika suatu negara hendak berperang, maka akan ada mobilisasi angkatan bersenjata ke garis depan. Retorika Korea Utara (Korut) yang tegas dan menakutkan rupanya tidak didukung oleh aksi nyata di lapangan. Dari satelit mata-mata, AS melihat tidak ada aksi mobilisasi pasukan ke perbatasan kedua Korea oleh Korea Utara. "Kita tidak melihat aksi seperti mobilisasi dan penempatan pasukan untuk mendukung retorika mereka," kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney. 2. Salam buat presiden baru Korea SelatanKorea Selatan (Korsel) baru saja memilih presiden mereka yang baru, Park Geun-hye. Sejak 1992, setiap presiden baru Korsel dilantik, Korea Utara biasanya akan melempar "salam hangat" provokasi ancaman perang. Sebagian pengamat menilai, ini hanya cara Korut untuk memaksa Korsel menoleh ke mereka. "Pola retorika mengancam ini tidak baru. Ini sudah biasa," kata Carney. 3. Membangun reputasi figur Kim Jong-unBanyak pengamat juga menilai ketegangan ini hanya cara Kim Jong-un untuk membangun propaganda reputasi figurnya yang pemberani melawan AS. Sebagai anak muda yang belum punya pengalaman militer, Kim harus membangun reputasi ini lewat "konflik" dengan AS dan Korsel. Bukti, di tengah ketegangan, ia malah menggelar sidang parlemen tahunan untuk mengail dukungan politik. 4. Tidak ada keuntungan buat Korut"Jangan memulai perang jika tidak yakin akan menang". Begitu kata Sun Tzu. Sebagian pengamat menilai, Kim Jong-un dan pengambil kebijakan di Korut sadar bahwa tidak ada untungnya memulai perang dengan AS dan Korsel. Sebagian dari mereka mungkin juga yakin akan kalah jika berperang melawan AS. Salah-salah, nasib Kim Jong-un bisa seperti Saddam Husein atau Muammar Khadafi. "Mereka tidak akan melakukannya (memulai perang) karena mereka tidak mau bunuh diri." kata Andrei Lankov, ahli masalah Korea di Universitas Kookmin. 5. No first useKorut, seperti juga China, India, dan Pakistan memiliki kebijakan "no first use" atau tidak akan menjadi pihak yang memulai serangan dengan senjata nuklir, kecuali diserang lebih dulu. Menyerang dengan senjata nuklir, hanya akan mengundang serangan balik dengan senjata nuklir pula. Kalau sudah begitu, menang jadi arang, kalah jadi abu. 6. Tekanan ChinaChina adalah sekutu Korea Utara paling dekat dan menjadi salah satu negara yang paling tidak nyaman dengan ketegangan di semenanjung Korea. Ekonomi China yang sedang melesat akan runyam kalau pecah perang di Korea. Karena itu, lobi dan tekanan China di balik layar kepada Korut bisa jadi merupakan senjata yang paling efektif meredakan ketegangan. Jadi, intinya, kecil kemungkinan perang terbuka akan pecah di semenanjung Korea. Kalaupun terjadi konflik, hanya "low intensity conflict" seperti saling tembak dengan meriam di perbatasan (artillery exchange). Walaupun demikian, kemungkinan pecah perang terbuka tetap ada. Sumbernya: miskalkulasi dan eskalasi. Misalnya, Korea Utara menembaki perbatasan Korsel dengan meriam artileri. Korsel yang marah lantas membalas dengan meluncurkan pesawat tempur untuk menghancurkan baterai artileri di wilayah Korut. Ini bisa dianggap invasi dan bisa memicu perang terbuka. "Kim masih muda dan belum berpengalaman serta sikap presiden baru Korsel lebih tegas dan agresif. Ini yang bisa menimbulkan miskalkulasi dan perang terbuka," kata pengamat Korea, Victor Cha.
Apa perang akan pecah di semenanjung Korea?
Eskalasi ketegangan di semenanjung Korea semakin meningkat. Setelah mendatangkan pesawat pembom dan tempur siluman, serta kapal perang, kini Amerika Serikat (AS) kembali mendatangkan senjata canggihnya. AS mendatangkan kapal radar Sea Based X-Band Radar atau SBX-1. Kapal radar raksasa yang bentuknya seperti anjungan minyak lepas pantai itu diparkir di lepas pantai Jepang. SBX-1 adalah radar dengan jangkauan sangat jauh dan kuat. SBX-1 mampu melacak misil balistik yang terbang dari hampir separuh bumi. Dengan kemampuan ini, AS bisa langsung mengetahui jika Korea Utara meluncurkan rudal balistiknya dan mengirim perintah kepada rudal pencegat untuk menghancurkan rudal balistik itu di udara. Dengan ketegangan yang semakin meningkat, banyak pihak khawatir ini akan memicu perang terbuka. Cuma, masih banyak pihak yang menilai, tidak akan terjadi perang di semenanjung di Korea, apalagi perang nuklir. Ada beberapa alasan, banyak pihak meragukan perang akan pecah: 1. Tidak ada mobilisasi Lazimnya, jika suatu negara hendak berperang, maka akan ada mobilisasi angkatan bersenjata ke garis depan. Retorika Korea Utara (Korut) yang tegas dan menakutkan rupanya tidak didukung oleh aksi nyata di lapangan. Dari satelit mata-mata, AS melihat tidak ada aksi mobilisasi pasukan ke perbatasan kedua Korea oleh Korea Utara. "Kita tidak melihat aksi seperti mobilisasi dan penempatan pasukan untuk mendukung retorika mereka," kata Juru Bicara Gedung Putih Jay Carney. 2. Salam buat presiden baru Korea SelatanKorea Selatan (Korsel) baru saja memilih presiden mereka yang baru, Park Geun-hye. Sejak 1992, setiap presiden baru Korsel dilantik, Korea Utara biasanya akan melempar "salam hangat" provokasi ancaman perang. Sebagian pengamat menilai, ini hanya cara Korut untuk memaksa Korsel menoleh ke mereka. "Pola retorika mengancam ini tidak baru. Ini sudah biasa," kata Carney. 3. Membangun reputasi figur Kim Jong-unBanyak pengamat juga menilai ketegangan ini hanya cara Kim Jong-un untuk membangun propaganda reputasi figurnya yang pemberani melawan AS. Sebagai anak muda yang belum punya pengalaman militer, Kim harus membangun reputasi ini lewat "konflik" dengan AS dan Korsel. Bukti, di tengah ketegangan, ia malah menggelar sidang parlemen tahunan untuk mengail dukungan politik. 4. Tidak ada keuntungan buat Korut"Jangan memulai perang jika tidak yakin akan menang". Begitu kata Sun Tzu. Sebagian pengamat menilai, Kim Jong-un dan pengambil kebijakan di Korut sadar bahwa tidak ada untungnya memulai perang dengan AS dan Korsel. Sebagian dari mereka mungkin juga yakin akan kalah jika berperang melawan AS. Salah-salah, nasib Kim Jong-un bisa seperti Saddam Husein atau Muammar Khadafi. "Mereka tidak akan melakukannya (memulai perang) karena mereka tidak mau bunuh diri." kata Andrei Lankov, ahli masalah Korea di Universitas Kookmin. 5. No first useKorut, seperti juga China, India, dan Pakistan memiliki kebijakan "no first use" atau tidak akan menjadi pihak yang memulai serangan dengan senjata nuklir, kecuali diserang lebih dulu. Menyerang dengan senjata nuklir, hanya akan mengundang serangan balik dengan senjata nuklir pula. Kalau sudah begitu, menang jadi arang, kalah jadi abu. 6. Tekanan ChinaChina adalah sekutu Korea Utara paling dekat dan menjadi salah satu negara yang paling tidak nyaman dengan ketegangan di semenanjung Korea. Ekonomi China yang sedang melesat akan runyam kalau pecah perang di Korea. Karena itu, lobi dan tekanan China di balik layar kepada Korut bisa jadi merupakan senjata yang paling efektif meredakan ketegangan. Jadi, intinya, kecil kemungkinan perang terbuka akan pecah di semenanjung Korea. Kalaupun terjadi konflik, hanya "low intensity conflict" seperti saling tembak dengan meriam di perbatasan (artillery exchange). Walaupun demikian, kemungkinan pecah perang terbuka tetap ada. Sumbernya: miskalkulasi dan eskalasi. Misalnya, Korea Utara menembaki perbatasan Korsel dengan meriam artileri. Korsel yang marah lantas membalas dengan meluncurkan pesawat tempur untuk menghancurkan baterai artileri di wilayah Korut. Ini bisa dianggap invasi dan bisa memicu perang terbuka. "Kim masih muda dan belum berpengalaman serta sikap presiden baru Korsel lebih tegas dan agresif. Ini yang bisa menimbulkan miskalkulasi dan perang terbuka," kata pengamat Korea, Victor Cha.