KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inggris menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui vaksin Covid-19 buatan Universitas Oxford-AstraZeneca pada Rabu (30/12). Tindakan ini menambahkan pasokan suntikan bantuan vaksin Covid-19 untuk melawan pandemi virus corona. Inggris juga menyetujui penggunaan dan menjadi negara pertama yang mengeksekusi vaksin Pfizer/BioNTech untuk digunakan di negaranya. Lantas, apa saja perbedaan antara vaksin Oxford-AstraZeneca dengan Pfizer/BioNTech? Efektivitas vaksin
Dilansir dari
Reuters (31/12), menurut data sementara, vaksin virus corona AstraZeneca/Oxford disebut manjur dalam mencegah infeksi Covid-19 bergejala dengan tingkat efektivitas sebesar 70,4%. Angka ini diperoleh dari 5.807 orang yang mendapat vaksin dua dosis setelah 30 hari, dibandingkan dengan 101 dari 5.829 orang yang mendapat plasebo. Hal itu sebanding dengan kemanjuran 95% dari vaksin dua suntikan dari Pfizer/BioNTech. Kendati demikian, mereka yang menerima setengah dosis vaksin AstraZeneca, diikuti dengan dosis penuh, terbukti memiliki perlindungan sebesar 90%.
Baca Juga: Apa efek samping vaksin Sinovac yang diuji klinis di Bandung? Teknologi, harga, dan penyimpanan Terkait biaya, AstraZeneca berjanji biaya vaksin itu hanya beberapa dolar per dosis dan dijual tanpa menghasilkan keuntungan, sementara vaksin Pfizer berharga US$ 18,40-US$ 19,50 atau sekitar Rp 255.839 sampai Rp 271.133 per dosis. Untuk penyimpanan vaksin, AstraZeneca tidak memerlukan pembekuan pada suhu minus 70 derajat, namun vaksin ini bisa disimpan di lemari es standar selama 6 bulan lamanya. Adapun suhu pada lemari es standar berkisar 2-8 derajat celsius. Sementara, vaksin Pfizer/BioNTech harus disimpan dalam pendingin dengan suhu minus 70 derajat celsius.
Baca Juga: Jokowi: Indonesia mengamankan vaksin Sinovac, Novavax, AstraZeneca, dan BioNTech Pembuatan vaksin Menurut pemberitaan Kompas.com (20/11), AstraZeneca dibuat didasarkan pada adenovirus simpanse, yang dimodifikasi untuk menghasilkan protein di dalam sel manusia yang juga diproduksi oleh Covid-19. Artinya, vaksin vektor virus dibuat dari versi yang dilemahkan dari virus flu biasa yang menyebabkan infeksi pada simpanse. Virus flu simpanse telah diubah secara genetik untuk memasukkan urutan genetik dari apa yang disebut
protein spike yang digunakan virus corona untuk masuk ke sel manusia. Sementara, Pfizer dan BioNTech memakai teknologi terbaru berbasis versi sintetis molekul virus SARS-Cov-2 yang disebut
messenger RNA atau disingkat mRNA. Sejauh ini belum ada vaksin berbasis teknologi ini yang diberi izin resmi.
Vaksin yang diproduksi dengan teknologi terbaru ini ibaratnya meretas sel tubuh manusia, dan secara efektif merekayasanya menjadi pabrik pembuat vaksin. Keunggulan lain teknologi ini adalah produksi vaksinnya jauh lebih cepat, dibanding teknologi pembuat vaksin konvensional. Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Menilik Perbedaan Vaksin Oxford-AstraZeneca dengan Pfizer/BioNTech, Apa Saja? Penulis: Retia Kartika Dewi Editor: Sari Hardiyanto
Baca Juga: Zona merah corona di Indonesia akhir 2020 jadi 76, waspada lonjakan Covid-19 Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati