Apa yang bisa dilakukan untuk selamatkan rupiah? Simak saran Faisal Basri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah yang terus terpojok beberapa waktu terakhir menyebabkan banyak pihak cemas perekonomian Indonesia akan kembali terjungkal ke jurang krisis. Seperti yang diketahui, rupiah sempat hampir menyentuh level Rp 15.000 di pasar spot. Bahkan, nilai tukar kurs rupiah di sejumlah bank besar Tanah Air sudah menebus level psikologis tersebut.

Lalu, apa yang bisa kita dilakukan untuk menyelamatkan rupiah?

Pengamat Ekonomi Faisal Basri membeberkan upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk meredam keterpurukan rupiah. Berikut penjelasan lengkapnya seperti yang dikutip dari blog resminya https://faisalbasri.com pada 4 September lalu.


Untuk Meredam Kemerosotan Rupiah, Mulailah dengan yang Sekarang Juga Bisa Dilakukan

Hari ini (4/9/2018), kurs atau nilai tukar rupiah berdasarkan JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) kembali melemah di atas Rp 14.840 per dollar AS. Pada penutupan pasar hari ini versi Bloomberg bertengger di dahan yang lebih tinggi, Rp 14.935 per dollar AS. Sudah tujuh hari berturut-turut rupiah terdepresiasi.

Sudah dua hari nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah sejak dua dasawarsa silam ketika Indonesia diterpa badai krisis ekonomi, juga lebih buruk ketimbang posisi terlemah pada 29 September 2015.

Masih banyak yang bisa dilakukan untuk meredam pelemahan rupiah. Strategi menyerang patut diterapkan secepatnya. Upaya kolektif oleh segenap elemen bangsa pun sangat ditunggu.

Pelemahan rupiah dewasa ini berbeda dengan kondisi tahun 2013 dan 2015. Kali ini tekanan domestik amat berat dan mengakumulasi akibat penyesuaian struktural sengaja dihambat oleh pemerintah.

Ongkos penundaan sangat mahal karena menghadapi lingkungan global yang kian tidak bersahabat. Ditambah lagi dengan momentum menjelang pemilu yang ditandai oleh elektabilitas calon petahana yang nyaris tidak beranjak dari hasil pemilihan presiden empat tahún lalu (padahal sudah kerja, kerja, dan kerja), sehingga mendorong pemerintah semakin banyak menggelontorkan kebijakan-kebijakan populis.

Harus diakui bahwa pemburukan dewasa ini adalah konsekuensi logis dari apa yang telah dilakukan dalam empat tahun terakhir yang melampaui batas kemampuan.

Belum terlambat untuk melakukan koreksi.

Pertama, dosis kenaikan suku bunga acuan (BI 7-day repo rate) belum memadai untuk mengobati penyakit yang ertambah kronis. Dosis perlu segera ditambah dengan kenaikan suku bunga acuan severas 50 basis poin agar cadangan devisa tidak terlalu banyak terkikis.

Kedua, melakukan “imbauan moral” agar para petinggi negeri mengorbankan ternak dollarnya. Sangat tidak elok jika peternakan milik para pengelola negara sampai mencapai ratusan ribu dollar AS, bahkan ada yang mencapai jutaan dollar AS. Untuk mengakses senarai kekayaan pejabat, bisa dilihat di sini.

Ketiga, berhemat belanja valuta asing dengan tidak melakukan studi banding ke luar negeri, menekan jumlah delegasi ke luar negeri, menyeleksi ketat perjalanan luar negeri oleh pejabat negara dan jajaran BUMN, melarang BUMN menggelar tarvel fair seraya menggalakkan wisata domestik, dan melarang BUMN melakukan pembayaran dalam dollar.

Keempat, menargetkan seluruh perwakilan di luar negeri untuk memperluas serta membuka pasar baru di masing-masing negara tempat bertugas.

Kelima, menjadwal ulang proyek-proyek strategis sekalipun terutama yang boros devisa, termasuk belanja pertahanan. Jika kondisi sudah normal kembali, belanja yang tertunda bisa diperhitungkan.

Keenam, pembersihan dapur rumah sendiri dengan menertibkan (kalau perlu memecat) para menteri yang membuat pasar domestik sering kebobolan. Patut diduga, praktek-praktek pemburuan berada di balik arus impor yang semakin deras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie