Apa yang sebabkan gejolak mata uang di negara berkembang?



KONTAN.CO.ID - DW. Ketika kaum miskin dan kelas menengah Argentina bergulat dengan inflasi setinggi 30 persen, puluhan perusahaan di Turki dikabarkan pailit lantaran utang melonjak menyusul hancurnya nilai tukar Lira dan Indonesia berjuang menyelamatkan Rupiah yang keok terhadap Dolar AS, negara-negara berkembang sedang terseret dalam arus negatif pasar keuangan.

Gejolak pasar uang tahun ini ditengarai antara lain disebabkan sikap investor yang mengkhawatirkan dampak kenaikan suku bunga AS dan perang dagang terhadap perekonomian negara-negara berkembang, yang meski tumbuh cepat, seringkali rentan didera faktor eksternal.

Nilai mata uang Argentina tahun ini misalnya merosot hampir separuhnya, sementara Lira Turki juga bernasib serupa. Adapun mata uang Iran, Rial, menyentuh rekor paling rendah pekan ini dan Venezuela masih berjuang mengatasi hiper inflasi yang membekap perekonomian negeri kaya minyak itu sejak beberapa tahun terakhir.


Berbagai analis menggambarkan arus negatif yang menyeret pasar di negara-negara berkembang hampir sama parahnya seperti krisis keuangan global satu dekade silam.

Suku Bunga AS Goda Investor

Salah satu penyebab gejolak di pasar uang ditengarai adalah kebijakan Bank Sentral AS, The Fed, yang menaikkan suku bunga acuan secara berkala sejak beberapa bulan terakhir. Juni silam suku bunga AS merangkak ke level 1,75-2% dan diyakini akan terus meningkat hingga akhir tahun.

Kenaikan suku bunga membuat pasar AS lebih menjanjikan buat Investor yang merespon dengan menarik uang dari pasar negara berkembang. Perkembangan ini turut mengungkap kelemahan struktural perekonomian negara berkembang seperti pada kasus Turki dan Argentina. "Jika masa-masa stress sudah dimulai, anda harus melihat di mana bendera merah dikibarkan," kata Evghenia Sleptsova, ekonmis senior di lembaga Oxford Economics. "Argentina dan Turki memiliki kesenggangan paling tinggi," imbuhnya.

Kenaikan suku bunga juga ikut mengerek nilai mata uang Dolar sebanyak 3,3 persen tahun ini terhadap sejumlah mata uang asing, terutama terhadap Peso dan Lira. Kondisi ini terutama mengancam banyak perusahaan di Turki dan Argentina yang menyimpan kredit dalam mata uang asing.

Perang Dagang di Pelupuk Mata

Merosotnya nilai mata uang lokal juga bisa mendorong investor menarik uang dari pasar saham di negara-negara berkembang. Indeks Negara Berkembang milik MSCI misalnya anjlok sebanyak 15% dari level teringgi tahun ini. Hengkangnya investor juga diyakini mempercepat kejatuhan nilai mata uang dan memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan yang berpotensi menghambat pertumbuhan.

Hal ini dilakukan oleh bank sentral di Turki, India dan juga Indonesia.

Namun langkah tersebut belum menjawab ketidakpastian yang dipicu oleh eskalasi perang dagang yang dilancarkan AS. Selain dengan Cina, AS juga bersitegang dengan Turki seputar penahanan seorang pastor AS dan menghukum Ankara dengan menaikkan pajak bea masuk untuk produk logam asal negeri dua benua itu.

Terutama kekhawatiran investor terhadap perang dagang antara AS dan Cina ikut menyebabkan kelesuan pasar. Saat ini sejumlah indikator sudah mengisyaratkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Kondisi ini terutama berdampak besar pada perusahaan-peruahaan kecil dan akibatnya meningkatkan tekanan terhadap pasar saham dan mata uang Yuan.

Situasi di Indonesia

Kolumnis harian bisnis Bloomberg, Shuli Ren, menulis Indonesia seringkali terinfeksi virus apapun yang menghinggapi pasar negara berkembang. Menurutnya masalah terbesar perekonomian Indonesia adalah kebergantungan yang tinggi terhadap dana asing untuk membiayai defisit anggaran. Saat ini kepemilikan asing pada obligasi pemerintah mencapai 40% pada 2017, dari 33% pada 2013.

Situasi ini bertambah runyam menyusul besarnya utang korporasi dalam bentuk mata uang asing di tengah kuatnya nilai tukar dolar AS. Akibatnya Rupiah rentan terhadap perlemahan.

Hal ini diakui oleh Presiden Joko Widodo dalam komentarnya yang dimuat di situs milik Sekretariat Negara. "Ada dua kunci, investasi harus meningkat dan ekspor juga harus meningkat supaya kita bia menuntaskan defisit saat ini."

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti