Apakah ada tanda-tanda tren penguatan rupiah?



JAKARTA. Pagi tadi, rupiah sempat keok 1,5% menjadi Rp11.513 per dolar Amerika Serikat (AS), dan menjadi pelemahan terbesar sejak 20 Agustus lalu. Bahkan, posisi rupiah di pasar non deliverable forwards (NDF) lebih kuat 0,6% jika dibanding pasar spot.

Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka, menjelaskan, perbedaan nilai tukar di kedua jenis pasar itu hal biasa, dan disebut dengan istilah divergensi. "Apabila ada divergensi harga, maka salah satu dari harga itu akan turun atau yang satunya lagi akan naik," terang Lukman, Kamis (12/9).

Nah, sekarang pertanyaannya adalah, apakah arti divergensi pada harga spot dan NDF rupiah? Lukman bilang, jika melihat pergerakan rupiah yang terjadi belakangan ini, maka divergensi rupiah disebabkan market expectation yang positif pada rupiah, ini bisa tecermin dari nilai tukar NDF rupiah yang ternyata lebih kuat dari pasar spot.


Namun, hal itu, kata Lukman, ini murni spekulatif karena ada momen keputusan Bank Indonesia terkait BI rate. "Jadi, kenaikan BI rate masih relevan demi mengantisipasi pengumuman Federal Open Market Committee (FOMC) minggu depan. Jadi, selama sepekan ke depan, rupiah masih belum bisa menemukan pijakannya yang kuat,” katanya.

Namun demikian, Lukman yakin, dari sisi teknikal dan fundamental, rupiah aman di bawah level Rp12.000 per dolar AS. Jika FOMC selesai diumumkan, maka investor di emerging market akan fokus pada data China dan Jepang yang menunjukkan pemulihan. Dengan kata lain, sentimen ini akan menentukan kesempurnaan konsolidasi rupiah.

Jika mengacu pada penjelasan tersebut, bisa disimpulkan penguatan rupiah di pasar NDF bukanlah sinyal adanya penguatan rupiah. Menurut Lukman, rupiah kemungkinan baru mulai menguat menjelang akhir tahun. "Itu dengan menggunakan asumsi inflasi yang menurun dan current account yang membaik," jelas Lukman.

Pengamat pasar uang, Ruli Nova, memberikan paparan senada. Menurutnya, pasar NDF memang menjadi cerminan investor asing dalam melihat mata uang suatu negara, dalam hal ini rupiah. Pasar NDF juga lebih likuid dan menjadi acuan bagi eksportir dan importir.

Namun, bukan berarti penguatan pasar NDF sebagai sinyal utama penguatan rupiah. "Menguatnya rupiah sore hari ini, seiring dengan BI rate yang naik," ujar Ruli.

Memang, nilai tukar rupiah sore tadi (12/9) menguat menjadi Rp 11.254 per dolar AS. Penguatan terbesar sejak Mei 2010 ini terjadi tak lama setelah BI mengumumkan kenaikan BI rate menjadi 7,25% dari posisi semula 7%.

Ruli menilai, BI masih memiliki ruang menaikkan BI rate ke depannya, karena masih ada ekspektasi inflasi yang bisa mencapai 9%-9,5% sampai akhir tahun. Kenaikan BI rate juga bisa meningkatkan imbal hasil portofolio investasi. "Hal ini bisa memancing investor asing kembali ke Indonesia, apalagi jika melihat suku bunga di AS belum juga naik," pungkas Ruli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri