KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam beberapa waktu terakhir, perekonomian emerging market terkena hantaman bertubi-tubi. Sebut saja kenaikan suku bunga The Federal Reserve dan perang dagang yang digaungkan Presiden AS Donald Trump. Indonesia tak luput dari hantaman. Salah satu indikasinya, pelemahan rupiah yang nyaris menembus level Rp 15.000. Selain itu, pasar saham juga sempat anjlok dalam. Kondisi ini memunculkan anggapan, perekonomian Indonesia akan kembali jatuh seperti krisis ekonomi 1998 silam. Benarkah demikian?
Mantan Menteri Keuangan sekaligus pakar ekonomi nasional memberikan analisa singkat melalui media sosial mengenai kondisi ekonomi saat ini. Lewat akun Twitter resminya, Chatib menilai Indonesia tidak akan kembali ke krisis ekonomi 1998. "Saya tentu sangat bisa salah. Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kembalinya dunia kepada situasi normal baru
(new normal)," jelasnya. Apa itu situasi
new normal? Chatib menguraikan, dalam 10 tahun terakhir, dunia berada dalam keadaan abnormal akibat kebijakan suku bunga rendah The Federal Reserve. Nah, situasi dunia yang normal, lanjutnya, adalah situasi sebelum kebijakan
quantitative easing (QE) 2009, di mana Fed Fund rate berada di kisaran 3,5%. Masalahnya, menguatnya perekonomian AS dan meningkatnya defisit anggaran di AS mendorong Fed untuk melakukan normalisasi. "Akibatnya negara yang
current account deficit-nya dibiayai oleh investasi portofolio (utamanya) terkena dampak," paparnya. Chatib memprediksi, dalam proses normalisasi ini, perekonomian Indonesia akan mengalami nilai tukar yang volatile, tertekan, tingkat suku bunga naik, dan inflasi juga ikut terkerek. Kondisi itu akan berakibat pada perlambatan ekonomi 2019 dan 2020. "Apakah krisis 1998 akan terulang? Rasanya tidak. Alasannya: kita menganut
flexibile exchange rate sekarang, sehingga orang sudah mengerti bagaimana mengantisipasi pelemahan rupiah. Selain itu kondisi perbankan dan politik lebih baik dari 1998," demikian tweet Chatib.
Yang terpenting untuk diperhatikan, kata Chatib, adalah rasio dari utang luar negeri jangka pendek
(short term external debt) Indonesia relatif kecil dibandingkan tahun 1998. Kondisi defisit anggaran juga relatif kecil, begitu juga dengan inflasi. "Namun apakah situasi bisa memburuk? Risiko itu tentu saja ada bila respon kebijakan salah, pemerintah panik dan mengeluarkan kebijakan yg justru membuat pasar panik," urainya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie