Pasar saham mengalami penurunan tajam selama sebulan terakhir. Penurunan ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melorot sekitar 9,1% dari posisi tertinggi tahun ini, yaitu di 6.636 pada tanggal 23 April 2019, menjadi 6.033 per tanggal 23 Mei 2019. Sedangkan bila dihitung dari awal tahun, IHSG juga sudah terkoreksi 2,6%. Pertanyaan yang sering muncul dalam kondisi seperti ini adalah, apakah sekarang pasar saham sudah murah? Atau, akankah pasar saham turun sehingga jadi lebih murah lagi? Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada beberapa metode yang bisa digunakan, seperti analisa teknikal (grafik) dan beberapa metode menggunakan analisa fundamental. Pada kesempatan ini, penulis mencoba menggunakan pendekatan analisa fundamental, khususnya yang bermuara dari price earning ratio (PER) indeks LQ-45 sebagai proxy IHSG.
Namun kali ini, angka PER yang artinya
price (P) dibagi
earning per share (E), akan dibalik rumusnya, sehingga menjadi earning per share (EPS) dibagi harga pasar (price), atau disingkat E/P, yang artinya sama dengan yield (return) dari investasi di saham-saham yang ada di indeks LQ-45. Laba bersih per saham yang digunakan dihitung dari data historis untuk periode empat kuartal terakhir. Sedangkan harga saham didasarkan pada harga pasar penutupan setiap hari bursa selama periode pengamatan, yaitu tiga tahun ke belakang, tepatnya dari 23 Mei 2016 hingga 23 Mei 2019. Selain itu, penulis juga mencoba membandingkan dengan rata-rata yield to maturity (YTM) obligasi pemerintah, dengan waktu jatuh tempo sepuluh tahun, selama periode pengamatan yang sama, yaitu tiga tahun untuk. Ini dilakukan untuk melihat spread (selisih) dari kedua yield tersebut. Tak lupa, grafik Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diikutkan sebagai background untuk mendapatkan gambaran visual bagaimana kenaikan serta penurunan IHSG dibandingkan kedua yield. Dari data dan grafik yang terbentuk, dapat diambil beberapa kesimpulan menarik. Pertama, ternyata
yield obligasi pemerintah dengan waktu jatuh tempo 10 tahun nilainya lebih tinggi daripada
yield saham. Di negara maju, biasanya yield obligasi pemerintah lebih rendah dari yield saham. Di Indonesia, E/P kecil berarti PER-nya tinggi. Kondisi ini mengindikasikan potensi pertumbuhan laba perusahaan yang tinggi pula, sehingga investor masih percaya dan membeli saham perusahaan tersebut, walaupun harganya sudah mahal bila dibandingkan laba bersih per sahamnya saat ini. Bila ternyata di masa mendatang laba bersih per saham tumbuh, toh, PER emiten tersebut akan turun. Kedua, spread atau selisih antara yield obligasi pemerintah dengan
yield saham menyempit akhir-akhir ini, dari sebelumnya di rata-rata 2,17% menjadi sebesar 0,73% per tanggal 23 Mei 2019. Spread yang menyempit ini disebabkan oleh melonjaknya E/P secara tiba-tiba, sehingga kenaikan yield-nya lebih tinggi daripada kenaikan
yield obligasi pemerintah. Artinya, harga saham, khususnya saham-saham yang tergabung dalam indeks LQ-45, relatif lebih murah dibandingkan harga obligasi pemerintah. Bila diasumsikan yield obligasi pemerintah tetap sama di posisi 8,22%, karena suku bunga acuan diperkirakan stabil dan spread kembali ke angka rata-rata tiga tahun terakhir di 2,17%, maka E/P akan turun, alias P (indeks LQ-45) akan naik ke posisi 1.169, atau dengan potensi kenaikan 23,8% dari nilai per tanggal 23 Mei 2019 di 944. Bila angka ini dianggap masih terlalu optimistis, kita bisa menggunakan data spread rata-rata selama periode
year to date, yakni sebesar 1,34%. Dengan demikian, diperkirakan indeks LQ-45 masih bisa mengalami kenaikan 8,9% ke level 1.028. Ketiga, grafik yang terbentuk memberi gambaran, di saat spread mencapai titik terlebarnya yang terjadi di 29 November 2016 silam, saat itu IHSG mengalami kenaikan dari level 5.137. Alhasil, saat itu IHSG mencapai titik tertinggi di 6.689 per tanggal 19 Februari 2018, dengan kenaikan sebesar 30,2%. Sedangkan saat spread mencapai titik terendahnya sebelum minggu ini, yaitu pada tanggal 19 Januari 2018 silam, IHSG mencatatkan penurunan sekitar 14,2% hingga mencapai level 5.739 pada tanggal 5 Jul 2018. Saat ini,
spread mencapai rekor terendah pada tanggal 10 April 2019. Sejak saat itu, IHSG sudah mengalami penurunan 6.9%. Mengingat penurunan ini masih lebih kecil daripada penurunan sebelumnya, maka jangan kaget bila dalam jangka pendek kita akan dihadapkan pada kenyataan kejam, bahwa pasar masih bisa melanjutkan koreksinya. Alasannya, saat ini penurunan IHSG baru separuh jalan menuju bottom. Walaupun memang secara valuasi sebenarnya pasar sudah murah. Fenomena ini terdengar aneh, karena jika spread melebar, artinya E/P rendah, alias P sedang tinggi. Semestinya dalam kondisi seperti ini, pasar akan mengalami koreksi. Demikian juga sebaliknya saat spread menyempit. Artinya E/P tinggi alias P sedang rendah. Semestinya saat ini pasar akan mengalami rebound. Kemungkinan kondisi ini disebabkan oleh ekspektasi EPS di masa akan datang, di mana jika EPS diperkirakan naik, maka IHSG akan ikut naik. Begitu juga sebaliknya. Nah, mengulang pertanyaan di awal tadi, apakah berarti saat ini pasar sebenarnya sudah murah? Jawabannya, ya! Pasar saat ini relatif murah dibanding historisnya.
Tapi, apakah pasar berpotensi turun dan akan jadi lebih murah lagi? Jawabannya, mungkin saja, terutama jika mengacu ke data historis. Meski begitu, kondisi ini tidak menghalangi penulis untuk memberikan rekomendasi bagi investor untuk mulai membeli secara bertahap, terutama saham-saham kategori
blue chips. Simpan saham tersebut untuk minimal jangka menengah-panjang, mengingat prospek pembangunan dan pertumbuhan ekonomi masih bagus.♦
Parto Kawito Direktur PT Infovesta Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi