KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) atau Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dengan 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) tahun depan, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan adanya beban yang harus ditanggung oleh penambang dengan menggunakan bahan bakar jenis ini. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, penggunaan B50 akan berdampak pada peningkatan biaya tambang, dalam hal ini sektor batubara yang tengah berada dalam tantangan harga fluktuatif. "Karena memang bebannya itu ngambil itu per liter. Nah, ini bisa di angka seribu sampai dua ribu rupiah per liter. Kalau kita melihat keseluruhan total produksi, penambang akan butuh banyak bahan bakar," ungkap dia saat ditemui di agenda 2nd Coalindo Coal Conference, di Jakarta, Rabu (5/11/2025). Baca Juga: Petani Sawit Minta Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikan Mandatori Biodiesel B50 Gita juga menyoroti sektor tambang yang masuk dalam industri Non-PSO (Non Public Service Obligation) dalam ketentuan Kementerian ESDM. "Yang penting produksi, dan harga (batubara) juga saat ini kita belum bisa dibilang lancar, mungkin akan masih sama seperti tahun lalu," tambah dia. "Kenapa? Kenapa ada pengaruh juga tadi. Ngelihatnya, kalau penampingan, kalau BIB, kalau dari sisi harga, itu kira-kira, kalau dari pengusaha, mampunya itu berapa? Kenaikannya masih di bawah seribu? Sekali lagi, mungkin di seluruh harga. Jadi, selain kompositifnya, jangan lupa, maintenance karena alat berat, setelah dipakainya, mulai dari B40, yang sekarang saya tahu lagi cuci jalan untuk B50, ini yang harus dilihat juga adanya slump."jelas Gita. Baca Juga: Asosiasi Tambang Minta Pertimbangkan Penggunaan B50, ESDM: Bukan Masalah Teknis Untuk diketahui, pengguna biodiesel dibagi menjadi kategori industri PSO (Public Service Obligation) dan kategori Non-PSO (Non Public Service Obligation). Industri tambang sendiri, dalam penerapan B40 tahun ini masuk dalam industri Non PSO, yang menggunakan bahan bakar minyak jenis minyak solar yang dikategorikan sebagai bahan bakar minyak umum dan tidak mendapatkan subsidi pemerintah, dengan penetapan dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Keputusan Menteri. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2021, pengadaan biodiesel untuk pencampuran dengan minyak solar dilakukan untuk jenis bahan bakar minyak umum (Non-PSO) berdasarkan kebijakan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dan penetapan final dilakukan oleh Menteri melalui Keputusan Menteri.
APBI Ungkap Beban Penambang dalam Penerapan B50 Tahun Depan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang penerapan mandatori biodiesel 50% (B50) atau Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis solar dengan 50% minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) tahun depan, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan adanya beban yang harus ditanggung oleh penambang dengan menggunakan bahan bakar jenis ini. Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengatakan, penggunaan B50 akan berdampak pada peningkatan biaya tambang, dalam hal ini sektor batubara yang tengah berada dalam tantangan harga fluktuatif. "Karena memang bebannya itu ngambil itu per liter. Nah, ini bisa di angka seribu sampai dua ribu rupiah per liter. Kalau kita melihat keseluruhan total produksi, penambang akan butuh banyak bahan bakar," ungkap dia saat ditemui di agenda 2nd Coalindo Coal Conference, di Jakarta, Rabu (5/11/2025). Baca Juga: Petani Sawit Minta Pemerintah Batalkan Rencana Kenaikan Mandatori Biodiesel B50 Gita juga menyoroti sektor tambang yang masuk dalam industri Non-PSO (Non Public Service Obligation) dalam ketentuan Kementerian ESDM. "Yang penting produksi, dan harga (batubara) juga saat ini kita belum bisa dibilang lancar, mungkin akan masih sama seperti tahun lalu," tambah dia. "Kenapa? Kenapa ada pengaruh juga tadi. Ngelihatnya, kalau penampingan, kalau BIB, kalau dari sisi harga, itu kira-kira, kalau dari pengusaha, mampunya itu berapa? Kenaikannya masih di bawah seribu? Sekali lagi, mungkin di seluruh harga. Jadi, selain kompositifnya, jangan lupa, maintenance karena alat berat, setelah dipakainya, mulai dari B40, yang sekarang saya tahu lagi cuci jalan untuk B50, ini yang harus dilihat juga adanya slump."jelas Gita. Baca Juga: Asosiasi Tambang Minta Pertimbangkan Penggunaan B50, ESDM: Bukan Masalah Teknis Untuk diketahui, pengguna biodiesel dibagi menjadi kategori industri PSO (Public Service Obligation) dan kategori Non-PSO (Non Public Service Obligation). Industri tambang sendiri, dalam penerapan B40 tahun ini masuk dalam industri Non PSO, yang menggunakan bahan bakar minyak jenis minyak solar yang dikategorikan sebagai bahan bakar minyak umum dan tidak mendapatkan subsidi pemerintah, dengan penetapan dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Keputusan Menteri. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 24 Tahun 2021, pengadaan biodiesel untuk pencampuran dengan minyak solar dilakukan untuk jenis bahan bakar minyak umum (Non-PSO) berdasarkan kebijakan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dan penetapan final dilakukan oleh Menteri melalui Keputusan Menteri.
TAG: