KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2018 sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Nilainya sebesar Rp 2.220,6 triliun. Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, dalam APBN 2018, strategi kebijakan fiskal terlihat diarahkan untuk lebih produktif, efisien, berdaya tahan, dan mampu mengendalikan risiko dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Namun, pemerintah perlu kerja ekstra mengingat pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang cenderung melambat.
“Pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melambat dalam 4-5 tahun terakhir seiring dengan ketergantungan perekonomian pada komoditas global,” kata Josua kepada KONTAN, Kamis (26/10). Namun, terkait asumsi makro dalam APBN 2018, Josua melihat bahwa angka yang ada cenderung optimis dan realistis di mana pemerintah mempertimbangkan perkembangan ekonomi global tahun 2018 yang diproyeksikan tumbuh lebih baik dibandingkan tahun 2017. Perbaikan ekonomi global di tahun 2018 tersebut, menurut Josua, sejalan dengan permintaan global yang diproyeksikan meningkat dan harga komoditas diperkirakan stagnan. “Asumsi harga ICP cenderung tidak berubah mempertimbangkan realisasi harga ICP per Sep 2017 yang berkisar US$ 48-49 per barrel. Sejalan dengan perbaikan ekonomi global, ekonomi Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan turut mengalami perbaikan,” jelasnya. Asumsi nilai tukar rupiah juga dinilai cukup relevan mempertimbangkan normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS sehingga berpotensi mendorong potensi
capital flight. “Dengan asumsi niali tukar rupiah tersebut, pemerintah juga memberikan sinyal untuk mendorong kinerja ekspor secara khusus ekspor produk manufaktur,” ujarnya.
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, dari postur APBN ini masih terlihat adanya inkonsistensi. Hal ini bisa dilihat dari asumsi inflasi yang sebesar 3,5% atau lebih rendah dari 2017, tapi di sisi lain subsidi energi yakni subsidi BBM dan LPG, dan subsidi listrik dipotong menjadi lebih rendah dari pagu yang sebelumnya disodorkan. Asal tahu saja, dalam RAPBN, subsidi BBM dan LPG diusulkan sebesar Rp 51,1 triliun sementara kesepakatan panja berkurang menjadi Rp 46,8 triliun. Adapun dalam RAPBN, subsidi listrik diusulkan sebesar Rp 52,2 triliun sementara kesepakatan panja berkurang menjadi Rp 47,6 triliun. “Ada kecenderungan harga minyak meningkat, bisa US$ 55 per barel. Dengan subsidi yang dikurangi, susah apabila terjadi penyesuaian harga. Inflasi bisa lebih tinggi dari 3,5% kalau begitu dan daya beli masyarakat akan terganggu,” kata Bhima. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dessy Rosalina