APBN 2024 Diharapkan Mampu Tingkatkan Tax Ratio Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN) 2024 akan menjadi APBN terakhir Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dijadwalkan, Presiden Jokowi juga akan membacakan  Nota Keuangan Pengantar Rancang Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 dalam Rapat Tahunan DPR dan MPR RI pada 16 Agustus 2023.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda memperkirakan, Nota Keuangan yang akan dibacakan Presiden Jokowi besok tidak akan jauh berbeda dari Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).


Ia mengambil contoh, Presiden Jokowi akan mematok rasio pajak alias tax ratio sebesar 10,18% dalam RAPBN 2024. Hanya saja, dirinya menilai bahwa target tersebut masih jauh dari benchmarking yang dilakukan International Monetary Fund (IMF) dengan minimal tax ratio sebesar 15%.

Baca Juga: Menanti Kenaikan Gaji ASN Dalam Pidato Nota Keuangan 2024

"Jadi kalau kita lihat target tax ratio tahun depan dengan bechmarking itu, targetnya masih cukup tinggi, sekitar 4% lebih," ujar Huda dalam Diskusi Forum Legislasi di DPR RI, Selasa (15/8).

Menurutnya, masih rendahnya tax ratio Indonesia pada tahun depan dikarenakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum mampu mengoptimalkan dan memanfaatkan basis pajak yang baru.

"Memang tax ratio di masa pemerintah pak Jokowi ini kalau kita lihat itu semakin turun," terangnya.

Selain itu, dirinya juga menyoroti kontribusi sektor pertambangan ke Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, namun kontribusinya terhadap total pajak nasional masih relatif kecil.

"Jadi masih banyak sekali sektor-sektor yang perlu di collect pajaknya lagi. Nah, ini terkait dengan tambang ilegal yang memang masih menjamur dan belum ter-collect pajaknya dengan baik," tambahnya.

Di sisi lain, Ia juga mendorong pemerintah untuk menerapkan pajak kekayaan alias wealth tax untuk meningkatkan penerimaan serta mengurangi tingkat kemiskinan atau kesenjangan di sebuah negara,

"Jujur kita melihat orang kaya dengan orang miskin di Indonesia ini gap-nya semakin lebar. Artinya kita bisa melihat masyarakat kita kalah previlege dibandingkan orang kaya ketika memulai usaha atau pekerjaan baru," terang Huda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari