APBN tanpa perubahan



Hari ini, menurut jadwal, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan menyampaikan laporan realisasi APBN semester I-2018. Boleh jadi, di acara ini para anggota dewan juga akan mencecar pemerintah terkait keputusannya tidak melakukan perubahan atas APBN 2018.

Inilah pertama kali sejak reformasi tidak ada APBN Perubahan (APBN-P). Presiden Jokowi melihat tak perlu ada APBN-P 2018 lantaran tidak ada deviasi yang besar dari sisi penerimaan maupun belanja negara. Defisit pun lebih kecil daripada target.

Tidak adanya APBN-P juga bisa menutup celah menyusupnya proyek-proyek berbau 'amis '. Maklum, pembahasan APBN-P umumnya berjalan cepat dan luput dari perhatian publik. Alhasil, lahirlah proyek-proyek berbau korupsi seperti kasus alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID), proyek Hambalang, hingga kasus pengadaan kitab suci Al Quran.


Sebetulnya sejak tahun lalu pemerintah sudah menyatakan tidak ada APBN-P di 2018. Salah satunya karena tahun ini merupakan tahun politik terkait pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019.

Namun, tidak adanya APBN-P 2018 juga menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, sebagian asumsi dasar makro di APBN 2018 berubah. Kurs rupiah yang diasumsikan Rp 13.400 kini sudah mendekati Rp 14.,500 per dollar AS. Harga minyak bumi (ICP) diasumikan US$ 48 per barel, nyatanya Januari hingga Juni lalu ICP bergerak di rentang US$ 60- US$ 73 per barel. Asumsi lifting migas juga meleset. Rata-rata lifting minyak sepanjang semester I hanya 771.000 barel per hari (bph) jauh di bawah target 800.000 brp. Sementara lifting gas yang ditargetkan 1,2 juta BOEPD hanya teralisasi 1,15 BOEPD.

Ke depan, beberapa asumsi makro bisa kian buruk. Langkah AS yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua kali lagi hingga akhir 2018 akan menekan rupiah dan mengerek bunga acuan BI. Sementara perang dagang AS vs China kian meluas, dan mulai merembet ke Indonesia. Ekspor -impor kita bisa terimbas.

Maka orang pun mempertanyakan, apakah asumsi makro dalam APBN 2018 masih bisa dipertahankan. Tentu, akan ada perubahan-perubahan di pos di APBN. Turunnya penerimaan di satu pos ditutup naiknya pendapatan di pos lain. Atau mungkin ada pergeseran alokasi anggaran di pos-pos tertentu. Misalnya, naiknya subsidi BBM ditutup dengan pengurangi anggaran di pos lain.

Namun, justru di sinilah masalahnya. Dengan tidak adanya APBN-P, maka publik tidak bisa memantau perubahan-perubahan tersebut.•

Mesti Sinaga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi